Senin, 14 Mei 2012

perempuan, pelacur.


Hueeeekkkkssssss!

Pertama, aku tidak yakin apakah itu penulisan yang tepat untuk suara muntahan dari dalam mulut yang tumpah setelah sekian lama tertahan. Kedua, aku tidak yakin persis apa yang terjadi setelah muntahan itu bagai lahar gunung api menyembur dari mulutku. Aku hanya ingat seorang perempuan muda menolongku, dan orang-orang mengerubungiku, mengelilingiku, dan membopong tubuhku, mereka ribut sekali, aku tidak ingat apakah mereka laki-laki atau perempuan –yang mengangkut tubuhku-.

Ketiga, aku terbangun dengan kepala yang sangat berat, dan bumi bagai kiamat –barangkali kiamat memang lebih dahsyat-. Lamat-lamat pandangan mataku mulai jelas, tentu saja mata kiriku lebih dahulu jelas, tapi aku tak peduli itu. Aku sudah lupa bagaimana cara mata bekerja, apakah mereka akan jelas pandangannya dalam waktu bersamaan atau tidak. Tapi mata kananku membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih sakit.


Yang pertama kali kulihat dalam pandangan mata yang mencoba lebih terang, adalah langit-langit sebuah ruangan dimana plafonya terukir sangat indah, atau hanya estetika kecampuran khayalan untuk seorang yang baru saja berusaha memperjelas pandangannya, aku juga kurang tau. Begitu mata kananku sempurna lebih jelas pandangan, seseorang muncul diantara bingkai plafon langit-langit ruangan yang hangat. Tersenyum, tapi cemas.

Sekitar sepuluh menit jika kuhitung dengan stopwatch waktu antara pandanganku yang sudah jelas hingga aku menyadari dimana aku. Aku tergelatak disebuah sofa merah, dengan bantal pada kepalaku, seorang perempuan-tampaknya begitu akrab denganku- menyodorkan gelas yang berkaki dan terlihat sangat bening. Air yang dimuat gelas itu perlahan-lahan mengalir kemulutku, itu air dingin, mengalir ketenggorokanku, dan menyentuh sesuatu didalam dadaku, aku tidak mengerti apa yang disentuh air itu, apakah paru-paru atau jantungku. Yang jelas, aku mulai merasa nyaman, karena ternyata dadaku tadi sangat nyeri dan air dingin itu menghancurkan nyerinya.

“Kamu nggak papa?” perempuan itu bertanya, aku ingin menjawab, tapi kuurungkan, dia pasti tak butuh jawaban, dia bisa melihat sendiri bagaimana keadaanku.

“Aku dimana?” itu yang ingin aku tau, sebab ini ruangan yang baru pertama ku kenal

Perempuan itu tersenyum-tapi cemas, dia mengelus kepalaku. Aku tiba-tiba teringat dengan jilbabku, kuraba juga kepalaku, Alhamdulilah, jilbabku masih terpasang disana. Aku rasa aku baru pingsan, dan aku tidak mengenal perempuan ini, penting bagiku untuk memastikan jilbabku aman pada keadaan biasanya aku menaruhnya dikepalaku, meski memang agak berantakan, tapi dia masih menempel di kepalaku. Tetiba aku ingat kaos kakiku, dia sudah tidak disana, tidak dikakiku, tapi aku mafhum.

“Kamu tadi tiba-tiba muntah, dan habis itu pingsan....” dia bangun dari kursi plastik disebelah sofa merah tempat aku masih terbaring, sambil mencoba mengingat-ingat.

“..untungnya ditempat itu banyak orang, tadi aku panik” dia berjalan menuju kulkas. Aku tidak tau persis apa yang dilakukannya. Tapi dia kembali kesampingku, tersenyum.

Ah, aku ingat. Itu aku memang muntah, dan rasanya kepalaku berat sekali. Aku bergidik, ada rasa takut yang meliputiku saat itu.

Aku ingat, aku ingat, kuperkenalkan perempuan ini, meski ingatanku lamat-lamat. Tapi sial, aku tidak ingat namanya, dia perempuan yang kutemui dan berkenalan denganku di malioboro. Aku memutuskan untuk ngobrol banyak dengan dia, aku ingat, niatku semula adalah ingin melupakan banyak hal. Aku sedang tidak ingin bicara pada teman-temanku, aku ingin menghilang dari mereka sebentar. Sesungguhnya itu jahat, karena mereka hanya pelampiasan, mereka tidak salah.

Dia seorang pekerja seks komersial, tapi aku ingat, dia lebih sering menggunakan diksi pelacur untuk menyebut dirinya. Tapi aku berkeras menyebut pekerjaanya adalah psk, meskipun aku pikir itu sama –secara awam- . Tapi ini pendapatnya.

“ Lebih keren mungkin kalau istilahku ini pekerja seks komersial, dan pelacur itu lebih terkesan murahan. Tapi PSK itu Cuma pembelaan, tokh aku ini pelacur, pelacur juga, lacur “...

Aku diam. Tepatnya tidak tau mau berkata apa. Dadaku mulai nyeri.

“ ini si menurutku aja ya, yang make nama psk, itu berlindung dibawah nama itu psk, mereka jadi kaya bilang, ini pekerjaan, karena mereka pekerja seks komersial, jadi inilah pekerjaan, tapi sama, pelacur-pelacur juga to....”
Perutku seperti dicelupkan sebuah mixer yang tengah berputar. Bagai baskom yang berisi tepung dan telur yang dikocok. Dan aku makin bungkam, tapi seksama mendengarkan ceritanya. Barangkali jika dia menjadi seorang mahasiswa aktivis atau dia seorang guru ngaji, mungkin dia banyak disukai muridnya, sebab cara berceritanya menyenangkan. Takkan lari para muridnya karena kebosanan tertidur mendengar pelajarannya.



#bersambung, panjang soalnya.
ini cerita tentang kebiasaan buruk berjalan-jalan sendirian. dalam keadaan kurang baik hati dan badannya. kejadian ini terulang, kebiasaan sok penasaran, dan sok mau tau orang lain. perempuan itu terlalu yakin kalau aku tidak punya blog untuk menuliskan ceritanya.

2 komentar: