Minggu, 19 Februari 2012

Pada sebuah sore



Sejak kumulai sore tadi belum ada satu cangkir kopi pun yang kuramu. Hujan diluar sedang lebat, dan itu menyebabkan tak seorang pun mau beranjak dari balutan selimutnya yang tebal, mengerjakan pe-er nya masing-masing.

Ya, kecuali seorang perempuan yang datang tergopoh-gopoh sambil menyapaku. Begitulah, aku menjadi terlalu akrab dengan pelanggan-pelangganku.

Dia duduk pada tempat favoritnya, dekat colokan listrik dan dekat jendela. Sekejap kemudian aku menyusulnya. Membawakan kopi kesukaanya yang tidak terlalu manis. Ya, dan aku telah hafal bagaimana menyenangkan hati pelangganku.


Karena tidak ada yang lain yang datang, kami sempatkan mengobrol.

Dia meminum kopinya. Kopi yang akhirnya kutemukan ramuannya yang pas untuknya. Kopi asli dengan sedikit gula, dengan es batu, dan susu yang terpisah, dia sendiri yang harus menuangkan kopi ke dalam susunya. Butuh sekitar enam bulan untuk mengenali selera kopi seseorang, semua pelangganku, begitu juga dia. Tapi aku belum mengerti berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menerjemahkan kebiasaan duduknya di kafe ini. Dia suka duduk dekat sumber listrik dan jendela.



Kami diam. Dia menjadi pelangganku sudah lebih dari dua tahun, barangkali bisa tiga kali seminggu dia datang kemari. Kami sudah bicara banyak yang aku pikir sudah terlalu banyak, meskipun belum dapat untuk menebus sebuah terjemahan arti pilihan duduknya, tapi aku rasa aku sudah masuk ruang tamu rumahnya.

Kenapa kamu membuat kafe kopi.


Itu pertanyaan yang sudah puluhan kali coba kujawab, dan tujuanku jelas, jadi tidak pernah aku gelagapan menjawab pertanyaan serupa itu. : Aku menyukai kopi dan aku ingin orang lain merasakan kecintaanku pada harumnya, pada rasanya kopi.

Jawaban itu cukup untuk beberapa orang. Barangkali tidak dengan dia, yang merangsek dengan pertanyaan-pertanyaan sepele yang memojokkan. Jadi begini ; kubuat kafe ini sekitar 6 tahunan yang lalu, dan aku harus menemukan tempat untuk bangunan kafeku yang tepat, aku sempat berpindah, ini karena memang tuntutan keadaan, aku bukanlah murni pembuat kopi. Tapi aku seorang yang harus tetap meneruskan hidup dengan cara lain. Kafe dan membuat kopi adalah hobiku saja. Dan aku butuh energi lain untuk menghidupkan kafeku ini. Maka aku terus berjalan.

Aku menyukai kopi bukan sejak kecil, sejak ada seseorang akhirnya mengenalkanku pada kopi dengan sebuah gaya yang unik, aku ingat saat pertama kali aku akhirnya menganggap kopi adalah candu bagiku. Seorang yang kubilang tadi, datang kerumahku saat hujan lebat, dan tau apa yang dia lakukan, dia pergi kedapur untuk membuat kopi. Itu belum terlalu hebat, sampai ternyata dia membuatkanku juga, kopi. Padahal harusnya aku. Sejak saat itu aku merasakan betul indahnya meneguk secangkir kopi.

Dan aku ingin orang lain merasakan itu.

Aku tau, kopi itu bukan perkara pada takarannya saja, tapi ini juga menyangkut urusan hati. Apa yang datang dari hati, dia akan menyentuh hati. Begitulah pelanggan kafeku kubuat bertahan. Seperti aku bertahan pada kecintaanku terhadap kopi.

Kopinya enak.

Aku tersenyum, tentu saja, aku sudah tau bagaimana kamu minum kopi.

Akhir-akhir ini kamu saja yang datang saat hujan.


Keberatan?


Tidak, tapi bukankah itu berbeda.


Bukankah begitu, serupa dengan kopiku kan. Aku benar-benar menyukai kopi buatanmu.


Aku tersenyum. Jelas saja, tidak satupun bisa menolak ramuanku itu, sudah kubilang ini pekerjaan hati. Dia bicara lagi.

Ya dan semua orang menyukai kopi buatanmu. Harusnya tidak perlu sedalam ini ya. Lihatlah berapa ratus orang pelangganmu.

Hanya yang datang sesekali. Aku mencegah kalimatnya yang berlebihan, tapi dia melanjutkan lagi, secepat kilat menyambar.

Ehm ya, kuralat, puluhan yang hampir setiap sore menetap di tempat ini. Aku membayangkan kerepotannya kamu meramukan kopi untuk mereka. Dan betapa kamu telah mendapat tempat pada prioritas mereka. Jikapun bukan urutan satu, kamu dan kopimu pasti masuk lima besar daftar prioritas mereka. Kamu begitu istimewa. Kamu dan kopimu. Tapi ini menjadi terlalu umum seharusnya. Seharusnya.


Itu kebahagiaanku

Dan aku tau.


Ya, tentu saja.


Dan pasti mereka juga benar-benar menyukai kopimu. Itu candu. Seperti yang kamu rasakan pada kopi pertama yang pernah kamu ceritakan padaku kan, pada beberapa orang maksudku

Tidak pernah semirip itu mungkin.


Dia mencampurkan kopinya lagi kedalam susu, mulai mengaduk lagi.

Pasti, karena hati setiap orang berbeda. Dan apakah kamu tidak takut pada keberbedaan itu


Untuk apa. Kusaut itu lebih cepat dari rencanaku. Tapi dia masih terlalu ringan.


Untuk merasa kerepotan karena memintamu membikinkan kopi yang lebih dari apa yang biasa kamu bikinkan. Polosnya, tapi setiap kepolosan pasti memeliki mata pisau yang tajam.


Sudah kubikinkan mereka pada porsi mereka, kamu tau sendiri, aku melakukan pengamatan hati untuk meramu sebuah formula kopi yang tepat untuk setiap orang.

Dia meminum kopisusunya, sampai habis, sebelum mencampur es nya. Gelagat yang buruk jika dia sudah menelan seluruh minumannya cepat-cepat.

Ya, maaf, kamu telah belajar banyak. Dan aku Cuma menduga, yang aku tau, kedatangan setiap sore bukan hal yang wajar untuk sebuah kafe.


Apa salahnya, aku tidak lagi menyuruh mereka datang keesokan sorenya dan menjajikan kopi yang jauh lebih tepat lagi dari hari ini untuk meraka. Tapi mereka tetap datang.


Maaf ya, tapi aku menyukai kalimatmu yang terakhir, kopi yang jauh lebih tepat, ya akhirnya, karena ramuanmu pun kadang-kadang meleset pada mood tertentu bagiku.


Kujamu mereka untuk makna sebuah kopi tapi dengan gaya mereka


Iya iya, aku paham akan teori itu, dan jujur itu sungguh mengagumkan. Aku hormat takzim pada konsepmu itu, tak ada orang lain yang mampu melakukannya, sejauh yang aku tau.


Itu pilihanku saja.

And its amaze me.

Kami diam.

Ini terlalu jauh diperdebatkan dan tidak penting untuk seorang master kopi sepertimu dengan aku hanya si penikmat kopi, maaf, terlalu lancang barangkali.


Dia mengalah. Tanda buruk jika dia mengalah.

Kopimu habis, belum akan pergi kan, aku akan membuatkanmu lagi, kopi.

Tentu saja.




Aku kembali dengan kopi berikutnya.

Demi melihat kopi yang kubawa, aku berharap dia menangkap apa jawabanku atas segala gugatanya pada percakapan sebelumnya. Gugatan yang terlalu ambigu untuk orang yang tidak setiap sore membuatkan kopi untuknya. Aku sudah bilang ini pekerjaan hati.









0 komentar:

Posting Komentar