Selasa, 21 Februari 2012

Surat ketigabelas



Aku melonjak girang, tak peduli dengan puluhan kaleng cat yang berserakan disekelilingku. Demi mendengar satu kabar yang kutunggu sejak akhir pekan lalu. Kabar yang menunda seluruh aktivitasku semingguan ini. Tak lain karena sahabatku yang tinggal jauh dikota sana, akhirnya berkirim surat lagi.

Aku menyesal tidak ada internet atau semacam apa yang canggih lainnya di kampung terpencil ini, sehingga kami harus berkirim surat kertas seperti ini.

Tentu saja aku bahagia, ini surat ketigabelas yang dia kirimkan padaku tahun ini.
Aku selalu menyimpan seluruh suratnya. Dan dalam setiap suratku kukatakan, aku akan ada disana, aku akan ada dikotanya dan bertemu lagi dengannya, setelah perjumpaan terakhir kita tahun lalu saat dia berkunjung kerumah neneknya, tetanggaku. Aku akan ada disana; dikotanya, bertemu dengannya, tinggal disana, dan membuat toko bunga, dia telah mengatakan bersedia membantuku. Maka tanpa kusadari, seluruh hidupku telah tersita dengan satu cita-cita itu. Kukumpulkan seluruhnya, ya uang ya keberanian untuk bisa berada di kotanya, bersama dia apapun caranya.

Dadaku sesak, dadaku ngilu. Ini sungguh menyiksa, karena sudah lama aku menunggunya membalas suratku, tapi baru kali ini surat itu datang. Aku sudah membayangkan dia menuliskan bahwa kotanya sekarang sudah penuh bunga, itu akan memudahkan untuk membalas suratnya lagi, bercerita apa saja yang ada disini. Karena sungguh, hanya dia seluruh ceritaku seperti menemui muaranya.

Aku duduk diatas kursi panjang didepan rumah gubukku ketika kumulai membuka suratnya, seperti biasa dimulai dengan sapaan pendek.

Seperti perasaan orang bangun tidur tiba-tiba, linglung. Aku lupa harus merasakan apa, aku lupa apa yang baru saja kulakukan, tulang-tulang kakiku seperti dilolosi. Mendadak aku duduk diam.

Surat ketigabelasnya yang bijak bestari itu mengabarkan bahwa dia akan pergi. Aku kurang paham, dia akan pergi ketempat dimana ritual berkirim surat kami akan membutuhkan waktu yang lama untuk dapa sampai.

Aku diam, kalimat berikutnya mengatakan, bahwa ini kesempatan emasnya untuk dapat mewujudkan cita-citanya, dia tidak bicara kapan mungkin dia akan kembali. Aku curiga itu tidak akan terjadi.

Tapi membaca kata cita-cita, hatiku mendadak berbunga. Bunga yang berembun-embun. Embun yang menetes seperti air mata. Seperti.

Begitu indahnya kata cita-cita, begitu memberi makna nya sebuah kata bernama cita-cita itu, dia membuat orang hidup betulan kelihatan hidup.

Maka aku seharusnya kehilangan semua alasan untuk bersedih, ini soal cita-cita. Meskipun aku juga memiliki cita-cita. Ah, tapi cita-cita itu bisa diganti, apa salahnya. Untuk sebuah cita-cita, cita-cita yang lain bisa direvisi. Merevisi cita-cita toko bungaku, kemudian yang harus kulakukan.

Ini surat ketigabelasnya yang dia tulis di kota tempat cita-citaku seharusnya berlabuh. Esok depannya aku masih berharap dapat menerima surat-suratnya lagi, meski akan lama jedanya, dan aku akan selalu membalas apa yang dia tuliskan dalam suratnya.

Beginilah persahabatan itu terus berlanjut. Aku akan mendengar semua ceritanya, begitupun dia akan mendengar semua cerita bahagiaku. Menyenangkan kan.

0 komentar:

Posting Komentar