Sabtu, 11 Februari 2012

Melepaskan api kepada hujan



Aku bukan penakluk api. Aku bukan tukang pemadam kebakaran, dan aku bukan orang yang nyaman dengan api, meski itu hanya untuk menyalakan rokok.

Seumur hampir duapuluh tahun, aku mengenal api.

Tapi baru kali ini aku berani memegang api.

Ceritanya begini.

Siang, ketika aku duduk dengan secangkir teh dan sebuah buku yang tidak kubaca, menghadap ke luar toko. Aku melihat seseorang lewat, dan membawa sebuah bungkusan. Aku jelas melihatnya berjalan dan sepertinya dia kemudian jelas melihatku yang telah melihatnya sejak diujung jalan tadi.

Dia sadar jika tengah kuperhatikan,
 dia mau nyebrang jalan. Tapi ketika lampunya merah, dia tidak berjalan menyebrang. Aku jujur heran. Dia berbalik. Aku yakin dia akan menuju toko ini. Dan benar saja, dia menuju toko dimana aku duduk dengan secangkir teh dan buku yang tidak kubaca.

Langkahnya tergesa, dan aku yakin dia menujuku. Tidak penting kenapa tumbuh dugaan semacam itu padaku, aku hanya merasa kuat dengan perasaanku.

Menuju meja panjang dimana perempuan-perempuan berbaju seragam kuning-hitam yang sakunya terdapat gambar kopi-karena sejujurnya ini tempat ngopi, bukan tempat nge teh-, dia berjalan dengan ritme tergesa yang masih sama. Dia tabrakan. Dan ya, tabrakan bukan sesuatu yang spesial, tetapi selalu merepotkan.

Ia mengemasi bawaanya, dalam karung tebal yang seolah tidak ingin diketahui orang lain.

Benar saja, setelah memesan sesuatu, dia menujuku. Dengan damainya duduk dikursi yang dibatasi meja dengan kursiku. Menyapaku pelan dengan ‘hai’ nya, dan kami akhirnya berkenalan. Kuberitahu dia namaku, dan begitupun dia. Kami bicara terlalu banyak dan terlalu asik bagi dua orang yang baru kali ini bertemu.

Sejujurnya aku telah sering melihatnya, begitupun dia.

Dia menunjukan padaku bungkusan yang dibawanya, tanpa kuminta dan tanpa persetujuanku. Mungkin saja dia berhasil membaca benakku, jujur, aku ingin tau apa yang dia bawa. Karena tatapannya membacakanku tentang betapa berharganya benda yang dibawanya itu.

Karung tebal yang ternyata lebih mirip kain buluk itu diletakkannya diatas meja, ikatannya dia buka pelan-pelan. Sebuah benda yang tidak pernah jelas bentuknya, tapi mengagumkan. Dia lebih mirip bola api, yang tidak mengirimkan hawa panas sama sekali. Dia kelihatan bahagia saat menunjukkannya.

Aku diam, pura-pura tidak tertarik. Dan hanya menyahut sekilas-sekilas jika dia menerangkan.

Lama-lama aku tak nyaman. Bukannya dia tidak menyenangkan, tapi aku takut dia terlalu jadi menyenangkan buatku. Yang aku khawatirkan bukannya dia tidak mampu pergi dari toko itu, tapi aku, aku tau seberapa besar kemampuanku bertahan, dan aku akan bertahan sekian lamanya pada hal yang terlalu aku sukai. Dan begitulah yang kutakutkan dengan pembicaraan ini.

Aku pamit pulang. Tapi tanpa perjanjian pasti, aku masih yakin kita akan bertemu lagi. Dengan takdir yang mana, nggak tau.

Dia mempersilahkan aku pulang, dengan menggantung. Seperti seorang sales yang tengah membara dalam presentasinya, tapi kutinggalkan.

Seperti mengenal kebiasaanku, dia datang lagi ketempat itu. Kami bertemu lagi dengan takdir yang terlalu mudah. Aku lupa ketidaknyamananku, dan membiarkan percakapan menumbuhkan waktu kami.

Tanpa kesepakatan, akhirnya kami saling bertemu disini, dan dia selalu membawa bola apinya. dari cerita-ceritanya, teranglah bahwa bola api itu bukan benda yang sepele. Diluar sana banyak yang menaksir dan bersedia memberi dengan harga mahal. Tapi dia bilang benda itu tak terbeli, meskipun dia bisa saja memberikan duplikatnya. Dia bilang, kalau dia mau dia bisa berikan pada siapa saja.

Tergelitik, aku bertanya. Kepada orang seperti apa kamu akan memberikannya. Bukan aku menginginkannya, tapi aku terlanjur jatuh hati pada keunikannya dan bersedia membantu dia apapun, termasuk menemukan siapa orang yang pantas mendapatkan bola api itu. Perasaanku mulanya adalah bidang datar, dia tidak berdimensi dua dan tidak berpotensi untuk itu dalam hal ini. Perasaanku adalah bidang datar, tidak membangun ruang untuk menampung bola api ini.

Kami bertemu untuk sekian puluh kalinya, mukanya sedikit kusut hari itu, dan bola api yang dibawanya sedikit redup. Tentu saja dia enggan bercerita, karena dia menganggap aku sudah terlalu dapat membaca kejadiannya setelah satu keterangan darinya, baru dari bandara.

Aku diam, dan melahirkan dugaan-dugaan. Dugaan yang sebenarnya mengganggu.

Beberapa minggu kemudian, bola apinya berpijar lagi. satu efek samping dari seringnya sebuah obat diminum, adalah candu. Begitupun pertemuan ini. Akan minta tolong siapa jika sudah kecanduan. Berbagi demi berbagi akhirnya menumbuhkan hidup kami masing-masing. Jauh. Tapi kadang begitu dangkal. Kami akan berhenti dan kesal karena percakapan ini seperti lingkaran, menyadari telah ribuan kali berbicara mengapa ada bintang jatuh, dan sudah sepakat pada kesimpulan ala kami berdua. Kami akan kesal dan berhenti, lantas untuk beberapa waktu yang tak lama, kami juga kesal kenapa berhenti. Memulai lagi.

Menjadi rutinitas tertebak yang menyenangkan. Sampai suatu hari dia memberikan bola apinya untukku, aku tidak begitu tau apakah ini duplikat atau yang asli. Tapi ini hanya titip menurutku. Sebab, setelah hari dimana dia serahkan bola api itu, dia tidak pernah lagi datang ke meja dimana kami dibatasi, dengan sebuah buku yang tidak dibaca diatasnya.

Dia pergi dan meninggalkan bola api itu.

Itulah bola api yang ingin kupunyai. Apa pentingnya tapi, ketika kami sudah tidak punya cerita dalam sesore cangkir kopi dan teh.

Aku masih datang ke toko itu lagi, dan kalau mau jujur masih berharap dia mengambil bola apinya, dan membagi apapun ceritanya. Sampai suatu sore aku bulat untuk bertemu hujan yang kabarnya datang pukul 9 di halte bis.

Susah payah menahan waktu, pukul 9. Cuma ingin melepaskan bola api kepada hujan. Jadi, biar tidak terlalu panas. Itu saja.











0 komentar:

Posting Komentar