Senin, 14 Mei 2012

perempuan, pelacur.-3


“ kuliah dimana?” tanyanya. Aku tau ini satu percobaan meringankan pembicaraan.

“ u en ye” jawabku. Dia manggut-manggut, aku hanya diam. Dia diam pula.

Kan, kubilang itu hanya percobaan meringankan pembicaraan, dia tidak sungguh-sungguh ingin tau aku. Jika sungguh ingin mengenalku, pertanyaan berlanjut, pada seputaran ambil jurusan apa, dan bagaimana kuliahku.

“ aktifis? “ glek! Aku sudah suudzon, kukira dia takkan bertanya aku lagi, ternyata dia justru melanjutkan ke pertanyaan yang lebih dalam.

Aku menggeleng.

“ bukan? Biasanya orang kaya kamu aktifis, aku sering liat kalau kalian lagi bareng-bareng itu, apa, aksi ?“, pertama, yang menakjubkan adalah pada kata aksi, bukan demo. Kedua, identitas ini berarti sudah sangat dikenali ya.


“ mbak, gimana mbak awal-awalnya sampai bisa kaya gini?”, aku teringat pada beberapa buku cerita yang tokohnya adalah psk, merpati biru, misal, itu kubaca waktu SMA, aku tidak ingat betul. Tapi merpati biru –kalau tidak salah- seperti salah satu nama agency psk –maaf, kalau salah- . Dan yang paling perdana kubaca, itu waktu masih SD, aku tidak ingat betul apa judulnya. Iya, aku juga sering mencuri baca majalah tanteku, yang tiap bulannya pasti ada cerita bersambung, itu juga tentang psk, waktu aku baru bisa baca, TK.

Aku ingin tau saja, tergelitik. Beberapa ada yang jadi seperti ini, biasalah, karena penjebakan seorang gadis desa yang dijanjikan pekerjaan di kota, ada yang karena merasa putus asa karena sudah tak lagi suci –menyedihkan, dia pasti tak punya teman pas putus asa itu, lagi tak punya iman juga mungkin, naudzubillah-, tak lagi sucinya macam-macam, bisa jadi oleh pacarnya, temanya, sahabatnya, ayahnya, tetangganya, sampai mahasiswa yang ngekos dirumah ibunya, ada yang karena katanya himpitan ekonomi, ada yang karena.... aku sudah semakin mual. Dan nyeri.

Diawali senyuman kecil, perempuan itu menceritakan, tapi dia bilang dia tidak ingat awalnya, sekitar dua tahun yang lalu.

Sebetulnya aku heran, dua tahun bukanlah waktu yang lama untuk dapat melupakan satu kejadian yang besar, yang barangkali melukai, pertama kalinya, yang orang-orang bilang dengan kehormatan itu dia tanggalkan –atau dipaksa menanggalkan-. Tapi sekali lagi, dia perempuan, aku juga perempuan, ada satu ruangan dimana kita bisa saling mengerti tanpa harus dijelaskan dengan kata-kata, ruangan yang entah dengan cara apapun, laki-laki takkan bisa masuk untuk paham. Mungkin dia hanya, tak mau mengingat-ingat, mengalaminya saja sudah cukup menyakitkan, barangkali.

            Dia hanya bilang, dia suatu waktu akan berhenti. Aku akan bilang, kenapa tidak sekarang, siapa tau setelah ini Allah memanggilnya. Tapi aku urung, aku akan terlihat seperti tukang ceramah, aku akan mengatakannya nanti setelah ceritanya usai, tentu dengan cara yang tidak terlihat seperti tukang ceramah -entah bagaimana-. Tapi aku merasa kiamatlah yang justru dekat dengan kepalaku, bukan kepalanya, nyeri didadaku semakin tak karuan, dan perutku, sangat sempurna mual.

“ Aku sempat gila “ ujarnya.

“....aku sempat tak berani keluar rumah, tak berani melihat laki-laki” pada bagian ini, aku bergidik, ada ketakutan yang meliputiku, entah dasarnya apa, mungkin aku merasa ketakutannya. Aku makin nyeri. Dan mual.

“....aku merasa setiap lelaki yang aku temui, adalah mereka yang sewaktu-waktu dapat menempelkan bibirnya diatas bibirku, mendekatkan tubuhnya ke dekat tubuhku” kali ini, otak dan hatiku kembali bertengkar, dia perempuan! Tapi pelacur! Tapi perempuan! Tapi pelacur! Dan kamu perempuan!. Aku mual, sepenuhnya mual.

Tapi aku menjaga perasaanya, tentu tidak ingin dia merasa telah menyebabkanku mual-mual oleh ceritanya. Meski aku tidak tau persis apa yang lebih utama membuatku mual, ceritanya yang membikin nyeri dari perut, ulu hati, hingga dada. Atau penyakitku yang minta kambuh sekarang.

“...mereka memang tidak melakukannya, tapi aku terbawa khayalanku, bahwa lelaki-lelaki yang aku temui seolah-olah melakukannya”. Dia menunduk. Aku menunduk. Aku mual. Dan nyeri. Ini trauma, dia mengalami trauma mulanya.

Kepalaku dipenuhi kalimat pelacur, pelacur, pelacur, yang kamu ajak bicara ini sekarang adalah pelacur, yang ada didepanmu sekarang adalah pelacur. Hatiku menolak, dia perempuan, aku hanya akan melihat dia sebagai perempuan. Tapi otakku jauh lebih cerewet, perempuan yang pelacur. Tidak, tidak, kenapa aku memilih pengungkapan yang membesar-besarkan, kenapa aku tak bilang saja ‘dia Cuma seorang pelacur’, tambahan kata ‘Cuma’ akan membantumu, pelacur bukanlah suatu hal yang dibesar-besarkan. Kita tidak tahu seberapa banyak perempuan yang menjadi pelacur sekarang ini, yang pernah jadi pelacur juga. Tanpa kata ‘Cuma’, kamu sedang membikin jarak dengan para pelacur, kamu sedang membikin jarak dengan para perempuan-pelacur, meskipun kamu berjarak –dengan usahamu- tapi kamu sama sekali tidak boleh bertindak bahwa kamu berjarak. Sekarang kamu bertindak seperti ada pada kubu yang lain, bukan kubu perempuan, kamu berada pada kubu laki-lakikah? Lalu dapatkah kamu menyusup kedalam setiap kepala laki-laki, laki-laki hidung belang tepatnya, membenarkan otak mereka, atau?.

0 komentar:

Posting Komentar