Hueeeekkkkssssss!
Pertama, aku tidak yakin apakah itu penulisan yang
tepat untuk suara muntahan dari dalam mulut yang tumpah setelah sekian lama
tertahan. Kedua, aku tidak yakin persis apa yang terjadi setelah muntahan itu
bagai lahar gunung api menyembur dari mulutku. Aku hanya ingat seorang
perempuan muda menolongku, dan orang-orang mengerubungiku, mengelilingiku, dan
membopong tubuhku, mereka ribut sekali, aku tidak ingat apakah mereka laki-laki
atau perempuan –yang mengangkut tubuhku-.
Ketiga, aku terbangun dengan kepala yang sangat
berat, dan bumi bagai kiamat –barangkali kiamat memang lebih dahsyat-.
Lamat-lamat pandangan mataku mulai jelas, tentu saja mata kiriku lebih dahulu
jelas, tapi aku tak peduli itu. Aku sudah lupa bagaimana cara mata bekerja,
apakah mereka akan jelas pandangannya dalam waktu bersamaan atau tidak. Tapi
mata kananku membutuhkan waktu yang lebih lama dan lebih sakit.
Yang pertama kali kulihat dalam pandangan mata yang
mencoba lebih terang, adalah langit-langit sebuah ruangan dimana plafonya
terukir sangat indah, atau hanya estetika kecampuran khayalan untuk seorang
yang baru saja berusaha memperjelas pandangannya, aku juga kurang tau. Begitu
mata kananku sempurna lebih jelas pandangan, seseorang muncul diantara bingkai
plafon langit-langit ruangan yang hangat. Tersenyum, tapi cemas.
Sekitar sepuluh menit jika kuhitung dengan stopwatch
waktu antara pandanganku yang sudah jelas hingga aku menyadari dimana aku. Aku
tergelatak disebuah sofa merah, dengan bantal pada kepalaku, seorang
perempuan-tampaknya begitu akrab denganku- menyodorkan gelas yang berkaki dan
terlihat sangat bening. Air yang dimuat gelas itu perlahan-lahan mengalir
kemulutku, itu air dingin, mengalir ketenggorokanku, dan menyentuh sesuatu
didalam dadaku, aku tidak mengerti apa yang disentuh air itu, apakah paru-paru
atau jantungku. Yang jelas, aku mulai merasa nyaman, karena ternyata dadaku
tadi sangat nyeri dan air dingin itu menghancurkan nyerinya.
“Kamu
nggak papa?” perempuan itu bertanya, aku ingin menjawab, tapi kuurungkan, dia
pasti tak butuh jawaban, dia bisa melihat sendiri bagaimana keadaanku.
“Aku
dimana?” itu yang ingin aku tau, sebab ini ruangan yang baru pertama ku kenal
Perempuan itu tersenyum-tapi cemas, dia mengelus
kepalaku. Aku tiba-tiba teringat dengan jilbabku, kuraba juga kepalaku,
Alhamdulilah, jilbabku masih terpasang disana. Aku rasa aku baru pingsan, dan
aku tidak mengenal perempuan ini, penting bagiku untuk memastikan jilbabku aman
pada keadaan biasanya aku menaruhnya dikepalaku, meski memang agak berantakan,
tapi dia masih menempel di kepalaku. Tetiba aku ingat kaos kakiku, dia sudah
tidak disana, tidak dikakiku, tapi aku mafhum.
“Kamu
tadi tiba-tiba muntah, dan habis itu pingsan....” dia bangun dari kursi plastik
disebelah sofa merah tempat aku masih terbaring, sambil mencoba
mengingat-ingat.
“..untungnya
ditempat itu banyak orang, tadi aku panik” dia berjalan menuju kulkas. Aku
tidak tau persis apa yang dilakukannya. Tapi dia kembali kesampingku,
tersenyum.
Ah, aku ingat. Itu aku memang muntah, dan rasanya
kepalaku berat sekali. Aku bergidik, ada rasa takut yang meliputiku saat itu.
Aku ingat, aku ingat, kuperkenalkan perempuan ini,
meski ingatanku lamat-lamat. Tapi sial, aku tidak ingat namanya, dia perempuan
yang kutemui dan berkenalan denganku di malioboro. Aku memutuskan untuk ngobrol
banyak dengan dia, aku ingat, niatku semula adalah ingin melupakan banyak hal.
Aku sedang tidak ingin bicara pada teman-temanku, aku ingin menghilang dari
mereka sebentar. Sesungguhnya itu jahat, karena mereka hanya pelampiasan,
mereka tidak salah.
Dia seorang pekerja seks komersial, tapi aku ingat,
dia lebih sering menggunakan diksi pelacur untuk menyebut dirinya. Tapi aku
berkeras menyebut pekerjaanya adalah psk, meskipun aku pikir itu sama –secara
awam- . Tapi ini pendapatnya.
“
Lebih keren mungkin kalau istilahku ini pekerja seks komersial, dan pelacur itu
lebih terkesan murahan. Tapi PSK itu Cuma pembelaan, tokh aku ini pelacur,
pelacur juga, lacur “...
Aku
diam. Tepatnya tidak tau mau berkata apa. Dadaku mulai nyeri.
“
ini si menurutku aja ya, yang make nama psk, itu berlindung dibawah nama itu
psk, mereka jadi kaya bilang, ini pekerjaan, karena mereka pekerja seks
komersial, jadi inilah pekerjaan, tapi sama, pelacur-pelacur juga to....”
Perutku seperti dicelupkan sebuah mixer yang
tengah berputar. Bagai baskom yang berisi tepung dan telur yang dikocok. Dan
aku makin bungkam, tapi seksama mendengarkan ceritanya. Barangkali jika dia
menjadi seorang mahasiswa aktivis atau dia seorang guru ngaji, mungkin dia
banyak disukai muridnya, sebab cara berceritanya menyenangkan. Takkan lari para
muridnya karena kebosanan tertidur mendengar pelajarannya.#bersambung, panjang soalnya.
ini cerita tentang kebiasaan buruk berjalan-jalan sendirian. dalam keadaan kurang baik hati dan badannya. kejadian ini terulang, kebiasaan sok penasaran, dan sok mau tau orang lain. perempuan itu terlalu yakin kalau aku tidak punya blog untuk menuliskan ceritanya.
iyazzz.....!!! :) miss youuu...wekwekwek
BalasHapusmiss you too
Hapus