Kamis, 01 Maret 2012

sebuah perjalanan perasaan

Aku mengunjungi lagi tempat itu. Sudah lama memang agak kutinggalkan. Seharusnya setiap orang memang tidak lagi tinggal disana. Tapi bagaimanapun, aku merasa perlu semacam ziarah kepada tempat yang pernah aku tinggali sekian lama, sekedar mengirim karangan bunga dan melihat-lihat saja, tak masalah pikirku.


Tempat ini lumayan luas, bahkan lebih luas dari yang mampu kita tebak tentang luas bumi, menurutku tempat ini sudah selayaknya menjadi planet tersendiri yang terpisah dari bumi. Tapi hukum alam tidak mengaturnya begitu. Mestinya jika tempat ini menjadi planet, aku menyarankan para ilmuwan untuk membuat jembatan yang sulit untuk diakses setiap orang,
dan setiap yang hendak kesana harus melengkapi surat-surat, terutama tentang tujuan apa mereka ke tempat itu. Kalau para ilmuwan tidak mampu membikin yang semacam itu, harusnya dewan keamanan PBB membikin peraturan ketat portal masuk tempat itu. Kalaupun dewan keamanan yang kesohor itu masih tak juga mampu, maka peran para pemuka agama dari segala jenis agama mesti dikerahkan untuk membuat semacam doa perisai yang bisa diterapkan kedalam tiap diri pribadi langsung, manusia dari jenis agama apapun agar melindungi diri ketika datang ke planet tersebut.

Tapi kenyataanya, tempat itu hanyalah bagian lain dari bumi. Yang dapat dijangkau dengan segala macam alat transportasi. Aku kali ini memilih berjalan kaki dengan tas kecil yang terkalung pada pundakku, aku hanya menyimpan handphone, dompet, dan beberapa nota swalayan.

Mudah sekali bagi tiap orang untuk kembali kesana, kecuali bagi beberapa orang yang mengalami kesalahan yang sulit dijelaskan dikepalanya. Tempat itu berisi jutaan rumah, bahkan trilyunan, labih dari yang mampu kita hitung.

Ini salah satu tempat yang ajaib menurutku. Lama berjalan sendirian, aku mulai memperkerjakan otakku untuk dapat memasuki dimensi lain, tempat itu hanya diselubungi lapisan seperti kulit ari buah salak. Raga kita akan dibantu pikiran dan perasaan untuk sampai disana.

Aku menginjakkan kakiku dibawah tulisan besar bernama “Memori” saat hari masih gelap, penjaga gerbangnya tersenyum melihatku, mungkin bergumam, lama sekali tak pernah kesini.

Aku berjalan lagi menuju perempatan kedua kemudian membelok kanan, pada rumah yang memiliki kincir angin dari kertas di pagarnya, aku mampir, ini rumahku, disinilah aku pernah tinggal, sebelum memutuskan untuk terlibat di bumi dan menetap disana.

Tempat ini luas, halamannya berisi pot-pot bunga yang didominasi bunga cocor bebek, aku ingat betapa konyolnya aku dengan menaruh cocor bebek dalam pot. Ini gara-gara pelajaran IPA waktu kelas 5 SD dulu.

Aku memasuki rumah dengan pintu angin di tengahnya, ah, mereka sedang sarapan, aku ketawa geli melihat gadis kecil yang mengangkat kedua kakinya keatas kursi dan meminum teh. Bandana nya aku ingat itu milikku dulu, dipakainya persis seperti aku memakainya.

Perasaanku bermain lebih keras, aku membuka pintu, aku duduk pada ranjang yang letaknya dekat dengan jendela, lalu, ketika aku masih mengamati poster-poster amigos yang menempel pada dinding, seorang anak berseragam SMP yang ceking masuk sembari mengeluh kalo seragamnya kebesaran dan melorot. Dia memakai rok pendek selutut dan baju OSIS dengan lengan hampir 3/8. Aku tersenyum, dari luar seorang ibu menjawab omelannya.

Aku merindukan suara itu, bergegas aku keluar dari kamar dan yang kudapati adalah ruang tengah yang kosong. Kemana perginya suara itu, aku berusaha masuk ke arah dapur, hanya ada kamar mandi yang sedang diisi baknya, persisi kebiasaan ibuku.

Tapi lebih dari itu, ini tempat yang nyaman. Aku bersyukur pernah memiliki rumah ini, aku duduk ditepi jendela ruang makan, memandang kearah pohon cengkeh yang kelihatan tersiksa dipanjati sekitar 5 gadis kecil. Aku tersenyum simpul, getir, ngilu, rindu.

Kalau boleh aku memilih, aku tidak mau meninggalkan tempat ini. Aku akan berada selamanya disini. Aku tidak mau kehilangan apapun dari tempat ini.

Aku terkaget, saat seseorang menepuk pundakku dan membagi senyumnya untukku, aku mengenal itu, itu senyum bapak waktu pertama kali aku masuk universitas. Dadaku bergetar, ini betulan semacam rindu yang tidak tau sudah lunas atau belum. Diusapnya kepalaku saat kemudian aku mendadak berkeringat dingin dan lututku lunglai. Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi aku merasa ada sesuatu yang hebat yang merasa belum mampu kuterima datang padaku. Aku tiba-tiba harus merebah, karena lututku lunglai.

Aku ingat kamar ini, langit-langitnya saat aku pertama kali merasakan tak berdaya seharian, dan didesak rindu yang tidak tau diri. Aku ingat waktu itu rindu menodongku dengan demam tinggi dan aku hanya menyerah.

Aku harus pulang dari tempat ini. Aku sengaja tidak melewati jalan yang sama dengan waktu aku datang tadi, kulewati jalan lain. hari sudah malam ketika aku melewati suatu rumah. Aku melewati sebuah rumah yang pintunya terbuka, kenapa aku mendengar suaraku didalam sana. Aku terpaku didepan rumah itu, terutama ketika aku yakin akulah yang ada didalam sana, yang terparkir diluar adalah motorku, sandal yang ada diluar juga sandalku.

Aku diam, seperti didesak lagi oleh sebuah perasaan, tapi aku yakinkan ini bukan rindu. Justru lebih dari itu, ini semacam perasaan tidak mau pergi. Aku benar-benar terpaku didepan rumah itu,sampai malam benar-benar turun dan memekat. Aku tidak mampu pergi, tepatnya tidak mau.

Biar hujan juga mulai turun, aku betulan ingin benar-benar tau apakah aku yang masih didalam sana. Sampai seseorang berpayung mendekati dan mendekapku yang mulai menggigil. Bapak tua yang membawa senter dan payung itu kemudian menuntunku kearah gerbang yang kulewati tadi pagi. Aku duduk saja pada kursi yang tersedia ditepi pos gerbang itu. Sesenggukan.

Satu jam membiarkanku menggigil dan sesenggukan, bapak tua dengan senternya mengelus kepalaku pelan. Pulanglah nak, sudah malam. Suruhnya padaku.

Aku menggeleng. Ijinkan saya tinggal disini. Aku memohon.

Untuk apa?. Itu pertanyaan yang menyebalkan

Saya suka tempat ini, saya tidak mau kehilangan apapun dari tempat ini, saya nyaman disini.

Laki-laki tua itu tersenyum, dengan senyum semi mengejek. Ini hanyalah bagian kecil dari hidupmu, kamu sadar tempat apa ini?

Aku mengangguk.

Ini dunia memori, kamu tahu semua yang ada disini adalah kenangan. Seluruhnya yang ada di wilayah ini adalah masa lalu. Pulanglah ya, lewati portal itu dengan pikiran dan perasaanmu, malam ini tidurlah dikamarmu pada bumi yang sekarang.

Aku menggeleng. Aku merasa takut untuk kembali, takut kehilangan semua kesenangan yang kudapat dari tempat ini.

Tuhaaan. ..... dia mendesah, seharusnya tempat ini mestinya sudah musnah saja, atau jauh dari bumi. Dia seperti mengumpat.

Dengar nak, tempat ini tetap ada sejauh tiap orang menginginkannya, tokh cara terbaik pergi ketempat ini adalah dengan pikiran dan perasaanmu. Mereka yang datang kesini, bukan untuk tinggal disini. Sesekali mereka datang, hanya untuk melihat beberapa kejadian, setelah itu mereka pulang. Bulan lalu seorang lelaki muda datang kemari melihat SMA nya, tapi tak lama kemudian dia pergi meninggalkan tempat ini, dia mengambil beberapa kantung cahaya dari SMA nya, dia bilang, itulah hikmah. Dia akan gunakan untuk mengatasi beberapa persoalan hidupnya ditempat dia sekarang. Terkadang ada yang hanya datang kerana rindu, sebab yang ingin dijumpainya sudah tidak ada lagi pada dimensi yang bisa kita kunjungi, kecuali di daerah ‘kenangan’ ini. Beberapa bahkan tidak mau lagi datang kesini, menjerit-jerit ketakutan saat pikirannya membawa dia kedepan gerbang ini.

Itu karena mereka punya rumah yang buruk disini. Aku membela diri.

Seindah apapun, ini dunia yang tidak nyata, kalau kamu tetap memaksa tinggal disini, kamu akan tinggal seperti zombie, tubuhmu tidak akan mampu dengan atmosfir udara disini, hanya jiwamu. Hasilnya di bumi yang sekarang orang-orang akan menemuimu sebagi zombie, jiwamu kau biarkan tinggal disini.

Aku tetap ingin disini.

Apa yang memberatkanmu? Rumah tadi?

Aku ingin tinggal pada beberapa tempat disini, ada yang ingin kuperbaiki beberapa.

Tidak ada. semua yang kamu lihat disini, adalah bangunan dan kejadian permanen yang dimasukan kedalam kawasan kenangan. Kamu tinggal memahami letak rusaknya dan kemudian jangan bikin kerusakan yang sama di bumi mu sekarang. Yang ada disini, bukan kesalahan, semuanya sudah pas. Apa yang kamu alami, itulah kamu.

Bagaimana kalau aku ingin mencegah adanya bubur dari nasi yang terlalu lembek.

Kembali saja, pulang. Dan olah saja buburmu jadi bubur ayam. Setiap orang berhak membuat kisah disini, berhak datang kesini, sesekali saja tapi.

Seperti membaca pikiranku, dia membangunkanku dan mengantarku dekat lapisan tipis yang akan membawaku pulang.

Aku diam tertunduk. Dan mulai melangkah ketika lelaki tua itu memanggilku,

Soal rumah tadi, kekuatan pikiran dapat menghadirkannya di dimensi lain, masa depan.

Aku tersenyum sambil meninggalkan patok kilometer wilayah masa lalu.

*terinspirasi dari satu sesi senja, “seperti masalalu, masa depanpun siapapun berhak memilikinya”



0 komentar:

Posting Komentar