Senin, 19 Desember 2011

hari seperti ini dinamakan hari apaaaaa?


Aku kadang nggak ngerti dengan hari-hari seperti ini.
Dulu, aku bangun dalam gegap gempita pagi, kamarku penuh, karena ada banyak anak kecil yang malam ini menginap di kamarku, sepupu-sepupuku. Di dapur ibu, ada puluhan ibu-ibu sudah sibuk dengan asap dapur, walau sebenarnya kami menggunakan kompor gas.
Rebutan mandi, antri ketawa dan bercanda. Riang sekali hari seperti itu. Senyum dimana-mana.
Yang aku tau ada puluhan kentang yang di simpan dalam karung di dapur dadakan yang diperluas oleh kakeku seminggu yang lalu. Aku kebagian job mengupas dan memotong umbi yang satu itu. Waktu itu masih TK, sebisaku kulakukan pekerjaan itu. Aku bahagia karena bertemu dengan kentang segitu banyaknya, apalagi job menggoreng yang dilakukan oleh bulikku kutemani dengan sukses, tiap matang satu penggorengan aku mengambil satu piring. Dan aku, jelas-jelas bahagia karena keuntungan itu.
Yang aku tau pagi itu, ada beberapa orang asing yang datang ke kamar depan. Kamar yang jarang kami pakai, di rumah setua ini. Orang-orang itu membawa perkakas macam-macam. Dan mereka saling beramah tamah dengan nenekku.
Pagi itu, matahari mulai meninggi. Aku bermain-main terus dengan sepupu-sepupuku yang datang dari berbagai kota. Ini bukan lebaran, tapi meriahnya seperti lebaran. Orang yang kupanggil oom, hadir lengkap semua. Perempuan-perempuan yang kupanggil bulik, berdandan cantik semua hari itu. Aku girang bukan main, karena ibu memakaikanku gaun dengan renda-renda dan bunga di dada sebelah kiri. Baju terusan berwana krem yang berpita dipinggangnya.
Hari itu semua orang cantik, hari itu semua orang bahagia. Termasuk aku.
Tapi yang paling menjadi magnet penglihatan diantara semua orang ini adalah perempuan itu. Perempuan yang tidak kubenci dan sangat menyayangiku. Perempuan yang sering menjemputku dari sekolah bersama oom ku. Perempuan yang emm, kuhitung hampir satu tahun kukenal, yang sering membelikanku tango dan susu kotak. Dia yang paling cantik. Dia memakai pakaian yang aneh, banyak bunga-bunga di tanam di kepalanya yang membesar di bagian belakang, warnanya keemasan. Dia cantik dengan bibir yang diberi merah-merah.
Dia duduk di kursi merah panjang yang di kanan kirinya terdapat payung, oom ku juga duduk disana. Keduanya tersenyum. Kata orang-orang itu senyum bahagia. Aku pun belum pernah melihat oom ku tersenyum se sumringah itu. Yang aku tau senyum bahagia adalah ketika, oom ku yang acak-acakan itu terbangun kaget saat aku sudah siap dengan seragam TK ku dan merajuk diantar sekolah, dia tersenyum tapi marah-marah. Setauku, senyum bahagia adalah ketika kami sering mencuri-curi pergi dari pengetahuan bapak ke pasar malam, pulangnya oomku kelelahan mendorong motor tuanya yang buluk sementara aku digendong bapak yang ngomel-ngomel karena malam-malam menjemput kami di pasar malam. Atau ketika aku dinaikkan sepeda berboncengan dengan sepupuku yang lain, kemudian kami didorong oleh oomku dari jalan yang menanjak. Kami terjatuh, kami menangis, dan dia menolong kami sedikit cemas sambil tersenyum.
Atau senyum ketika dia memberikan gameboy kepadaku yang sudah setengah jam menangis mencoba merebut mainan itu darinya. Setauku itu.
Atau ketika menggendongku dipundaknya naik bukit menuju rumah simbah, bermain ayunan dan memetik jambu. Setauku itu.
Tapi kata orang-orang bukan.
Setelah hari itu. Setengah tahun terakhir aku pergi sekolah, bersama teman-temanku. Aku baru tau, setelah hari itu oom pergi bersama perempuan yang sering membelikanku tango. Perempuan yang tidak kubenci dan sangat menyayangiku.
Tidak ada pasar malam lagi setelah itu.
Setahun sekali kami bertemu, Cuma saat lebaran.

0 komentar:

Posting Komentar