“
kuliah dimana?” tanyanya. Aku tau ini satu percobaan meringankan pembicaraan.
“
u en ye” jawabku. Dia manggut-manggut, aku hanya diam. Dia diam pula.
Kan, kubilang itu hanya percobaan meringankan
pembicaraan, dia tidak sungguh-sungguh ingin tau aku. Jika sungguh ingin
mengenalku, pertanyaan berlanjut, pada seputaran ambil jurusan apa, dan
bagaimana kuliahku.
“
aktifis? “ glek! Aku sudah suudzon, kukira dia takkan bertanya aku lagi,
ternyata dia justru melanjutkan ke pertanyaan yang lebih dalam.
Aku
menggeleng.
“
bukan? Biasanya orang kaya kamu aktifis, aku sering liat kalau kalian lagi
bareng-bareng itu, apa, aksi ?“, pertama, yang menakjubkan adalah pada kata
aksi, bukan demo. Kedua, identitas ini berarti sudah sangat dikenali ya.
“
mbak, gimana mbak awal-awalnya sampai bisa kaya gini?”, aku teringat pada
beberapa buku cerita yang tokohnya adalah psk, merpati biru, misal, itu kubaca
waktu SMA, aku tidak ingat betul. Tapi merpati biru –kalau tidak salah- seperti
salah satu nama agency psk –maaf, kalau salah- . Dan yang paling perdana
kubaca, itu waktu masih SD, aku tidak ingat betul apa judulnya. Iya, aku juga
sering mencuri baca majalah tanteku, yang tiap bulannya pasti ada cerita
bersambung, itu juga tentang psk, waktu aku baru bisa baca, TK.
Aku ingin tau saja, tergelitik. Beberapa ada yang
jadi seperti ini, biasalah, karena penjebakan seorang gadis desa yang
dijanjikan pekerjaan di kota, ada yang karena merasa putus asa karena sudah tak
lagi suci –menyedihkan, dia pasti tak punya teman pas putus asa itu, lagi tak
punya iman juga mungkin, naudzubillah-, tak lagi sucinya macam-macam, bisa jadi
oleh pacarnya, temanya, sahabatnya, ayahnya, tetangganya, sampai mahasiswa yang
ngekos dirumah ibunya, ada yang karena katanya himpitan ekonomi, ada yang
karena.... aku sudah semakin mual. Dan nyeri.
Diawali senyuman kecil, perempuan itu menceritakan,
tapi dia bilang dia tidak ingat awalnya, sekitar dua tahun yang lalu.
Sebetulnya aku heran, dua tahun bukanlah waktu yang
lama untuk dapat melupakan satu kejadian yang besar, yang barangkali melukai,
pertama kalinya, yang orang-orang bilang dengan kehormatan itu dia tanggalkan
–atau dipaksa menanggalkan-. Tapi sekali lagi, dia perempuan, aku juga
perempuan, ada satu ruangan dimana kita bisa saling mengerti tanpa harus
dijelaskan dengan kata-kata, ruangan yang entah dengan cara apapun, laki-laki
takkan bisa masuk untuk paham. Mungkin dia hanya, tak mau mengingat-ingat,
mengalaminya saja sudah cukup menyakitkan, barangkali.
Dia hanya bilang, dia suatu waktu
akan berhenti. Aku akan bilang, kenapa tidak sekarang, siapa tau setelah ini
Allah memanggilnya. Tapi aku urung, aku akan terlihat seperti tukang ceramah,
aku akan mengatakannya nanti setelah ceritanya usai, tentu dengan cara yang
tidak terlihat seperti tukang ceramah -entah bagaimana-. Tapi aku merasa kiamatlah yang justru
dekat dengan kepalaku, bukan kepalanya, nyeri didadaku semakin tak karuan, dan
perutku, sangat sempurna mual.
“
Aku sempat gila “ ujarnya.
“....aku
sempat tak berani keluar rumah, tak berani melihat laki-laki” pada bagian ini,
aku bergidik, ada ketakutan yang meliputiku, entah dasarnya apa, mungkin aku
merasa ketakutannya. Aku makin nyeri. Dan mual.
“....aku
merasa setiap lelaki yang aku temui, adalah mereka yang sewaktu-waktu dapat
menempelkan bibirnya diatas bibirku, mendekatkan tubuhnya ke dekat tubuhku”
kali ini, otak dan hatiku kembali bertengkar, dia perempuan! Tapi pelacur! Tapi
perempuan! Tapi pelacur! Dan kamu perempuan!. Aku mual, sepenuhnya mual.
Tapi aku menjaga perasaanya, tentu tidak ingin dia
merasa telah menyebabkanku mual-mual oleh ceritanya. Meski aku tidak tau persis
apa yang lebih utama membuatku mual, ceritanya yang membikin nyeri dari perut,
ulu hati, hingga dada. Atau penyakitku yang minta kambuh sekarang.
“...mereka
memang tidak melakukannya, tapi aku terbawa khayalanku, bahwa lelaki-lelaki
yang aku temui seolah-olah melakukannya”. Dia menunduk. Aku menunduk. Aku mual.
Dan nyeri. Ini trauma, dia mengalami trauma mulanya.
Kepalaku dipenuhi kalimat pelacur, pelacur, pelacur,
yang kamu ajak bicara ini sekarang adalah pelacur, yang ada didepanmu sekarang
adalah pelacur. Hatiku menolak, dia perempuan, aku hanya akan melihat dia
sebagai perempuan. Tapi otakku jauh lebih cerewet, perempuan yang pelacur. Tidak,
tidak, kenapa aku memilih pengungkapan yang membesar-besarkan, kenapa aku tak
bilang saja ‘dia Cuma seorang pelacur’, tambahan kata ‘Cuma’ akan membantumu,
pelacur bukanlah suatu hal yang dibesar-besarkan. Kita tidak tahu seberapa
banyak perempuan yang menjadi pelacur sekarang ini, yang pernah jadi pelacur
juga. Tanpa kata ‘Cuma’, kamu sedang membikin jarak dengan para pelacur, kamu
sedang membikin jarak dengan para perempuan-pelacur, meskipun kamu berjarak –dengan
usahamu- tapi kamu sama sekali tidak boleh bertindak bahwa kamu berjarak.
Sekarang kamu bertindak seperti ada pada kubu yang lain, bukan kubu perempuan,
kamu berada pada kubu laki-lakikah? Lalu dapatkah kamu menyusup kedalam setiap
kepala laki-laki, laki-laki hidung belang tepatnya, membenarkan otak mereka,
atau?.
0 komentar:
Posting Komentar