Perutku seperti dicelupkan sebuah mixer yang tengah
berputar. Bagai baskom yang berisi tepung dan telur yang dikocok. Dan aku makin
bungkam, tapi seksama mendengarkan ceritanya. Barangkali jika dia menjadi
seorang mahasiswa aktivis atau dia seorang guru ngaji, mungkin dia banyak
disukai muridnya, sebab cara berceritanya menyenangkan. Takkan lari para
muridnya karena kebosanan tertidur mendengar pelajarannya.
“
aku nggak pernah mau punya pekerjaan ini, aku pengin pekerjaan lain, tapi aku
sudah kadung jadi pelacur, tapi aku janji, ini bukan jadi pekerjaanku seumur
hidup”
Aku tambah bungkam, dada yang nyeri dan perut yang
memasuki taraf mual, membuatku hanya bisa diam. Ku pikir ini akan seru jika
–entah dengan apa caranya- bisa membuat dia ngaji seperti yang biasanya
kulakukan -emang aku ngaji?-. Ini akan menjadi kisah yang seru untuk dituliskan –ampun, pikiranku,
jahatnya, pertaubatan seseorang bukan jadi materi kisah saja, mesti ada jalur
manfaat lain yang lebih penting, untuk dirinya tentu-.
“
yah, aku ini, pelacur “
Dia memungkasi ceritanya. Aku diam. Dia menoleh dan
menatapku, tersenyum-tapi cemas. Dia mengulang kata pelacur, pelacur, pelacur
dalam setiap kalimatnya. Yang sampai saat ini, masih terngiang di kepalaku.
Kali ini diriku, seperti lahan perang bagi otak dan
hatiku, otakku terus mengulang kata pelacur, memenuhi kepalaku. Sementara
hatiku, yang kudukung penuh-penuh, berusaha mengulang kata, dia perempuan,
perempuan, perempuan, perempuan, perempuan. Dan otakku, menimpali, tapi
pelacur, tapi pelacur, tapi pelacur.
Keduanya, menggunakan diriku untuk melancarkan
perang mereka. Dia perempuan! Tapi pelacur! Tapi perempuan! Tapi pelacur!.
Aku semakin nyeri. Dan mual.
“
hey, kok nglamun, kenapa? Jijik ketemu aku?” dia mengagetkan, sekaligus
menembakku. Jijik? Iyakah aku jijik? Dia manusia, bukan anjing, dia perempuan,
dan aku perempuan.
Dan
otakku bilang lagi, tapi dia pelacur! Dan hatiku bilang lagi, tapi dia
perempuan, tapi dia pelacur!, tapi aku juga perempuan. Aku tercekat. Aku
perempuan.
Demi
menghormatinya, aku berusaha keras mengeluarkan suara dari mulutku. Niatku,
untuk mengatakan sejujurnya apa yang dirasakan hatiku.
“
ah, enggak, memangnya embak kotoran apa, biasa aja, seru lagi mbak” apakah aku
baru saja berbohong.
Kuakui, tentu saja beberapa perempuan –kalian- harus
mengakui ini juga bahwa beberapa kali tanpa kita sadari kita merasa jauh lebih
baik darinya, kita telah mati-matian menjaga harga diri kita, menjaga kesucian
kita, menjaga keperempuanan kita, matipun kayaknya lebih baik bagi kita dari
pada harus menanggalkan jilbab, apalagi sampai menanggalkan kehormatan. Usaha
mati-matian ini yang mengantarkan kita pada titik sekarang ini tentu takkan
rela untuk kita tebus dengan persepsi orang yang menyamakan kita dengan para
pelacur, kan? Meski sama-sama perempuan. Ada rasa yang menganggap kita lebih
baik darinya kan. Tapi kadang untuk kepentingan komunikasi, apa yang baru saja
kuucapkan itu perlu.
Tokh, tidak sama bukan berarti bedanya sejauh suci
dan kotor. Betulankah kita suci, dan betulankah mereka kotor?.
“
orang-orang kayak kamu ini, biasanya sangat memelihara diri, sekaligus
memelihara rasa kalian-“ dia tersenyum-tapi cemas.
“
tapi aku paham, kalian telah mati-matian menjaga diri, tentu saja nggak rela
kalau bareng-bareng sama kita”, aku ditembak lagi, barusan itu yang kurasakan.
Dia menghela nafas. Ringan. Tapi mengeluarkan partikel yang berat. Partikel apa, nggak taulah.
“ yahhh..makanya kubilang tadi, aku ini pelacur, yang kadang menama-namai diri pekerja”
Aku diam, sungguh aku bukan hakim mbak, aku juga
bukan Allah, jangan berlaku seperti seolah-olah akulah yang akan memberi surga
atau neraka untukmu. Aku tak memiliki kemampuan mendadahkan dosa-dosamu, atau
pahala-pahalamu, barangkali mengenali dosaku saja aku tak mampu.
Ucapan-ucapanmu barusan memojokanku, aku dianggapmu lebih baik –meski aku
merasa begitu-, tapi bukankah orang diluaran sana melihat kita sama perempuan?
“
kuliah dimana?” tanyanya. Aku tau ini satu percobaan meringankan pembicaraan.
#bersambung, nggak tau sampe part berapa, baca lagi ya....
#bersambung, nggak tau sampe part berapa, baca lagi ya....
seru!
BalasHapus