Jadi
kangen pikiran-pikiran kayak gini
“sakit
mana di poligami, diceraikan, diselingkuhi, ditinggalin?”
Laki-laki
banget. Nggak pake hati banget –ups maksudnya, nggak pake perasaan banget-.
Kalau mau bicara hati si, sakit semuanya itu, semuanya paling, nggak ada yang
gak sakit. Mbak uul aja waktu tak tanya, pilih mana, gak mau pilih. iyalah, siapa juga yang mau. semua perempuan juga maunya, menjadi satu-satunya selama-lamanya ditemenin betulan, nggak disakitin. Tapi emang semua suami eh laki-laki bisa kayak gitu?, kan belum tentu juga....
Tapi
dulu, dua tahun lalu kayaknya, kok bisa mikir gitu ya, sampai ada yang komen,
Laras kaya laki-laki. Sampe pernah diledekin sama mbak-mbak kos soalnya bilang,
‘pasti nanti aku mau deh dipoligami, soalnya nggak cinta-cinta banget pasti
sama suamiku’. Orang gila. Sekarang kok mikirnya kebanyakan pake hati banget,
udah jadi perempuan kayaknya, “sakit adalah sakit, sakit yo tetep sakit
jenenge”.
Beneran
ini Cuma bagi-bagi cerita gratis doang, bukan berarti pengin dipoligami, atau
juga bukan berati nggak masalah kalau ditinggalin. Ini single parent terhebat
yang sangat dekat dengan kehidupanku, mungkin ada banyak kisah single parent keren
diluar sana, tapi inilah yang paling deket.
Seorang
perempuan dari keluarga kaya raya, sangat terpandang di kotanya, akhirnya
memilih menikah mengikuti suaminya disaat sodara-sodara lainnya justru sedang
sekolah tinggi-tinggi –yang waktu itu jarang banget-. Singkat cerita sang suami
yang kerjanya jadi supir itu, nggak pernah pulang, boro-boro bawa duit. Malah
punya pacar lagi, padahal gajinya buat nyekolahin anak 7 buah itu nggak akan
habis, tapi nggak, anak-anaknya dititip-titipin malahan, kan, karena sang ibu
nggak punya uang buat mbiayain.
Tinggal
di kota suaminya –yang suaminya kerja dikota lain malahan-, si ibu itu akhirnya
bekerja. Rumahnya –sempet liat dari foto- sedih banget deh, hitam putih *kyaa,
ini mah karena foto jadul. Sepetak kecil yang dtinggali 6 orang, 3 balita,
nggak KB nih
Ditinggalin
seumur pernikahannya, tapi enggak pernah bercerai, biarin lah, ada oleh-oleh
sendiri dari Allah baginya, suami yang meninggalkan istrinya. Sekarang, gimana
7 anak yang udah nambah jadi 9 ini bisa hidup, makan, sekolah. Kerja jadi buruh
nyuci, macem-macem lah, untung juga ada anak yang udah gedhe.
Suaminya
kalau pulang sesekali, juga Cuma ngamuk2 doang. Hadhehh, jannn...
Yang
pernah perempuan itu katakan sama suaminya adalah “Pak, mbok jangan mainin
perempuan, anak-anakmu wadon kabeh, adik-adikmu yo wadon-wadon... “ -pak, jangan mempermainkan perempuan, anak2mu perempuan semua, adik-adikmu juga-.
Ck!
Meski enggak begitu percaya karma (maksudnya banyak orang dulu bilang, kalau
bapaknya nggak bener gitu, ada anak yang kena tulahnya itu, kalau bapaknya
nyakitin kayak gitu, anak perempuannya juga ada yang digituin, atau cucunya.
Atau kakaknya itu pernah nakal, nanti adiknya dinakalin juga, atau apanya gitu
gitu lah... Banyak si di kasih contoh -seolah-olah- nyata kejadian kayak gitu, tapi lebih percaya
kalau itu takdir Allah, itu aja...). meski enggak percaya karma, tapi bener
juga kalau aku waktu itu ada ditempat kejadian, tak rewangi bilang, mbok sambil
diingat-ingat kalo pas main serong sama perempuan tu nek anak-anakmu,
cucu-cucumu juga nanti ada yang perempuan...
Tapi
si ibu ini, lebih mentingin gimana nasib anaknya. Bukan bilang “pak mbok kamu
ngerti perasaanku”, tapi malah bilang “pak mbok jangan main perempuan, sebab
anakmu juga wadon, sodara-sodaramu juga wadon”
Membesarkan
9 orang anak hingga sekarang mereka menikah semua, trus dapat menikmati masa
tua dekat dengan anak-anaknya itu, si lelaki kembali. Suaminya yang dulu,
meninggalkan dia, dan menyerahkan seluruh masa primanya –uangnya, waktunya,
mudanya, cinta yang paling full- untuk perempuan-perempuan lain, kini kembali
kepadanya.
Kembali
dengan rambut yang seluruhnya uban, dengan gigi yang tak sisa satupun, kulit
yang mengkirut, tangan yang tak lagi kuat mengangkat, mata yang tak lagi awas,
dan tidak ada harta yang bersisa. Kembali kepadanya, duduk di ruang tengah
rumah masa tuanya, minum kopi bersama, sembari melihat cucu-cucu yang tiba-tiba
saja lahir dari anak-anak yang tidak pernah dibesarkannya.
Kembali,
barangkali hanya untuk dapat mati di sisi orang yang begitu luas hatinya.
Kini,
berapa banyak saja orang yang mencibir lelaki itu, tapi aku tak pernah
secuilpun ada rasa benci terhadapnya, karena perempuan yang telah lebih dari 40
tahun ditinggalkan dan disakitinya pun kini menerima dia kembali. Karena
perempuan yang telah menjadi single parent tanpa perceraian itupun menerima dia
kembali.
Ah,
apa perempuan harus seterluka itu dulu, untuk melihat keluasan hatinya. Aku
ingin hati yang luas, tapi tak mau dengan cara terluka atau sakit.
Lama ga main ke blog ini.
BalasHapusSekarang dah main, malah diem dan susah berkomentar.
Tulisannya dalem dan menusuk-nusuk ~> ~> ~>
maaf kalau ketusuk, kunjungan balik ah! :)
Hapushmmm, cerita yg menyedihkan
BalasHapusiya po? tapi itu ada.
Hapus