Kamis, 09 Agustus 2012

Dialog Semalam


Aku mengusap alisku, Allah telah menciptakannya tumbuh dengan rapi pada dahiku, mereka masih basah karena air yang kubasuhkan ke wajahku sekitar semenit yang lalu. Sebenarnya itu bukan basuhan, telah lebih dari 5 menit kucelupkan wajahku pada sebuah baskom, sampai megap-megap baru aku tarik kepalaku meminta nafas pada udara.


Mereka hitam, lebih hitam dari bola mataku, lebih hitam dari semut-semut yang menghuni kepalaku. Mereka tetap disana, seperti semua organ tubuhku menetap, menemaniku kapan saja. Betapa Allah Maha Pemurah, bahkan pada saat-saat seperti ini, aku masih memiliki mereka, organ-organ tubuhku lengkap, meskipun tidak lagi berfungsi sempurna. Apa jadinya aku tanpa alis, aku tanpa lidah, aku tanpa pipi, aku tanpa pori-pori, aku tanpa hidung, tanpa kuping, tanpa bulu mata, tanpa bulu hidung, tanpa bibir.

Kadang mereka bisa jadi sangat kuat, melindungi mataku dari debu, menyaring kotoran agar tak masuk tubuhku, mencecapkan rasa, menyampaikan kata-kata. Tapi kadang mereka jadi penghianat. Penghianat, bukan-bukan, mereka lebih tepatnya tidak berdaya, saat serangan dari luar datang, justru bukan seperti debu yang jahat, atau angin yang dingin. Mereka tak berdaya dibawah kendali nafsu.

Aku mulai duduk pada kursi yang disediakan didepan cermin, berbatas meja berisi pernak-pernik yang kukoleksi, aku menghadapinya. Aku membasuh kelopak mata, karena giliran urut dari alis adalah kelopak mata. Alasan lain, kenapa giliran berikutnya adalah kelopak mata, memang bukan semata urutan random, tapi aku meminta giliranku sendiri untuk mengatur detak jantungku, menguasai perasaanku, mengendalikan ketakutanku, meditasi sebentar sambil mengusap kedua kelopak mataku. Mataku panas, oleh air yang mendidih dari semua kelenjar mata. Produksinya malam itu sangat banyak. Nafasku meminta untuk ditenangkan, jantungku berhenti sebentar memompa darah.

Gemetar, pelan-pelan kuselesaikan giliran kelopak mataku diusap, menuju gilran hidungku, aku membuka mata, hitungannya setengah setengah, hingga tiga. Setengah, satu, satu setengah, dua, dua setengah, tiga.

Mataku sempurna terbuka, butuh waktu 5 detik menyempurnakan pandangannya. Dalam 5 detik itu aku berdoa agar tidak menemui apa-apa nanti pada detik ke enam. Tapi barangkali doaku terlambat, kuhadapi juga siapa musuhku. Musuh yang begitu aku takuti. Selama ini dia telah hidup sebagai parasit dalam tubuhku, begitu saja.

Aku yakin saat itu mataku membulat menatapnya, perempuan dengan rambut tipis, yang matanya seperti merah. Aku tau dia baru saja menangis. Tulang pipi yang kentara menunjukkan bahwa itu bukan kembaranku, tapi alisnya yang rapi, bola matanya yang tidak hitam, dahinya yang lebar, dan bibirnya yang putih gemetar, dia mengingatkanku pada seseorang, ah tapi dimana.

Dia menatapku, bukan tajam, tetapi dalam, seperti mau merogoh sesuatu didalamku. Mengamatiku. Lalu tersenyum.

“Apa kabar?, baikkah?, bagaimana?, coba kamu raba dadamu, bagaimana detak jantungmu, coba kamu elus kepalamu, masih kedinginan, masih belajar mengatur nafas?, kamu lambat sekali belajar, keadaan semenyedihkan kamu ini harus belajar cepat hal-hal yang dapat menolongmu, misal, belajar mengatur nafas, berapa kali nafas kamu salah jalur dan kamu megap-megap minta tolong tapi tidak juga keluar suaranya? Kamu bisa mati bodoh kalau seperti itu!”

Dia tersenyum, sambil memainkan beberapa pensil yang kukumpulkan dalam satu kaleng permen di pojok meja. Dia, seenaknya saja menyentuh barang-barangku. Mengambil pensilku satu-satu dan mencoret-coret bukuku, seenaknya, semaunya, menusuk-nusukanya ke meja, hingga tumpul, dan sekumpulan batu-batu kali kecil yang kukumpulkan dari puluhan kali berbeda, dia tumpahkan dari sekian botol vitamin yang kukelupas merknya. Bunga-bunga dari kertas jepun bertangkai lidi pun tak luput dari sapuannya, dicium, pura-pura ada wanginya.

“hmmmm...., wanginya, coba saja kamu cium,” dia menyodorkan dua tangkai yang berwarna merah, wajahku refleks menjauh mundur.

“haha, kenapa?, teringat seuatu, teringat hadiah sebuket mawar yang tidak kamu terima? Dan kamu menyesal?” tetap dia ciumi bunga kertas itu.

“o! Tidak menyesal? Tapi kamu membuang sebuket, karena sebuket itu dari orang lain?, kamu ingin yang setangkai dua tangkai itu kan, oleh seorang pangeran yang bukan khayalan, tapi pangeran yang menyerah terhadap kamu?.... ahhh, bukannya waktu itu kamu bilang mendapat selamat ulang tahun lebih dini dari siapapun sudah cukup, ingat saja cukup, kamu tidak mengingikan mawar.

Iya? Tapi malang, seharusnya kamu tidak membuang sebuket itu. Siapa tau ada yang membawakanmu kenanga, kamboja, anyelir, melati, tulip, anggrek, matahari, cempaka, baby’s bread... jadi kamu bisa buka toko bunga” dia ketawa, sedikit ngakak, tapi dia langsung mengendalikan diri.

Aku benci dia. Aku muak. Aku bangkit dari dudukku seketika.

“‘e..e..e...eit.ets, mau kemana? Mau pergi, untuk melakukan lagi latihan pergi duluan?, percuma nona manis, sini sini sini, tetap duduk didepanku, dan berbincanglah denganku, sudah lama kamu tidak mendengarkan aku”
Aku ragu.
“minumlah beberapa Machiato bersamaku, sini kubantu mengusap pipimu yang manis itu....” tawarnya.
Aku kembali duduk, pelan-pelan, beberapa kali kubetulkan letak dudukku, aku gemetaran. Untuk orang sepucat itu, dia terlalu serius kata-katanya. Aku mengerti maksudnya, dia sedang menuju sesuatu, masa laluku dan baru saja kuputuskan untuk melupakan masa tersebut sesaat sebelum lima menit dalam rendaman air baskom.
“Cukup. Kamu tidak berhak mengejekku dengan itu, mereka masa laluku, kebetulan mereka sangat tajam untuk dirawat dalam ingatanku.....”

“.....aku,”
“......berniat melupakan mereka.” Patah patah kuucapkan serangkaian kata ini, semacam ada bagian yang mustahil dalam kalimatku, tapi sudah terlanjur kuputuskan.

“ck,ck,ck,ck....” dia berdecak, kedengaran sangat menjengkelkan.
Selesai menaruh dua tangkai mawar kertas, dia menuju laptopku. Memainkan kursornya, menuju file-file yang akrab sekali kubuka akhir-akhir ini. Nama-nama folder yang sengaja kubikin aneh, seperti sudah sangat dia hafal, dimana aku menyimpan lagu, dimana aku menyimpan foto, dan menyimpan tulisan-tulisanku.

“O! Ini puisi ulang tahun itu? Wah wah wah, kadang-kadang kamu juga jago merontokkan pertahanan orang” dia melirikku, menggemaskan.
Lalu dengan deklamasi yang dibikin-bikin, seperti anak kelas tiga SD didepan kelas, dia mulai membaca,

Tiup lilinnya, ............biar gelap ....atau ..... terang sekalian....
Karena..... dalam remang cahaya lilin...

Aku tak ingat lagi dia bilang apa, memuakkan. Aku sibuk mengusap pipiku dan telingaku.
“Aku sudah akan melupakannya!” bentakku.
Dia kaget, berhenti memegang mouse, dan diam. Setelah menetapku sebentar, dia tertawa.. terus, sampai hampir sakit perut.

“ Kamu bilang melupakannya?” dia menyodorkan mukanya, menyisakan jarak sesenti saja antar hidung kami, entah kenapa aku refleks mundur ketakutan. Terjatuh dari kursiku, temperatur sehangat itu, bau nafas sedekat itu, aku rasa aku pernah mengenalnya. Tetapi mengerikan.

“ aku pikir itu kamu,..... “ tapi aku duduk lagi saat mendengar dia mulai bicara..

“....... Yang duduk di balkon sambil sesekali melongok kebawah, yang duduk di teras sambil berharap kedatangan tamu, yang duduk di kursi tamu, yang berharap ada orang didepan gerbang saat kamu baru saja menguncinya, yang kesal pada handphone kamu, yang mengunjungi sebuah rumah tapi tidak berani mengetuk pintunya padahal ada orang didalamnya, yang kelihatan bego menunggu di rumah yang tidak lagi sama, yang membaca ulang semua arsip dan dokumentasi, yang mengambil foto sembunyi-sembunyi?”

“aku pikir itu kamu....” suaranya merendah
“......... ini, bungkus-bungkus coklat ini, minuman botolan rasa jeruk itu, vitamin c dalam botol kaca itu, mi goreng ini, sekardus teh itu, keranjang parsel itu, botol-botol vitamin B itu, itu hanya kebetulan kamu beli?”

“....tempat makan ayam yang kamu kunjungi sendirian, tempat minum teh yang bahkan kamu bantu saat tutupnya, tempat makan prasmanan di kursi pojokan yang terpisah, jalan-jalan di pusat kota sendirian?, pohon-pohon rindang di pusat belajar?, baju biru lautmu, baju ungumu, baju putihmu, bross permenmu, surat-surat perkuliahanmu, laptopmu, kotak obatmu, jaketmu, tempat cucimu, embermu, bau yang tidak bisa kamu ciptakan itu, barbershop, supermarket ternama itu, lagu-lagu itu, buku-buku tebal yang membosankan itu, perempatan kampus, tukang jual jus...dan, ck, aaaahk...
.....kota ini bahkan bumi ini seluruhnya menyimpan dia!”

“Kamu yakin melupakannya?”
Aku diam.
“Sayang sekali aku tidak. Yakin!”

Dia menghela nafas, sebenarnya kenapa repot-repot dia mengurusi urusanku.
“Kuberitahu  kamu, energi kamu itu, energi kamu yang tinggal sedikit itu, jangan kamu pakai buat sesuatu yang sia-sia....”
Sia-sia?

“....... kecuali kamu hidup di Uranus sana, selama kamu masih hidup di bumi, energi yang hanya beberapa garis dari batas terendah itu, akan terbuang percuma”
“untuk membuangnya saja menghabiskan energi apalagi untuk menolaknya,

Kamu,

Cuma perlu, untuk.,

Menerimanya”

“Lihat kesini, menerimanya...”

Seperti mendapatkan parcel yang berisi banyak barang, paling tidak kamu harus mengeluarkan energi untuk membuangnya ke tong sampah, atau bahkan justru kamu menolak dari awal, kamu akan mengecewakan si pemberi, kamu butuh dalih alasan untuk menjelaskannya. Tapi coba kamu terima saja, duduk dan atur nafasmu, lihat, parcelnya cantik kan, pemberinya sengaja membingkiskannya untuk kamu, parcel kamu tidak pernah sama dengan parcel orang lain, begitu juga sebaliknya, buka pitanya, buka bungkusannya, bongkar satu persatu, memang ada banyak sampah dan duri sengaja di letakkan disana, tapi kamu lihat, ada bolpoin emas disana, ada pakaian dengan manik-manik indah, ada buku-buku kesukaanmu, ada banyak barang yang bagus untukmu. Kamu hanya perlu hati-hati memilihnya, membuang duri, atau menyisihkan sampah, meniup debu-debunya. Seharusnya kamu bisa memilih mana yang kamu simpan.

##
Keesokan harinya, aku menemukan gambar perempuan dalam cermin itu, di buku tahunan kelasku, dia menggunakan nama terangku sebagai identitas gambar itu.
Ya Allah.....



0 komentar:

Posting Komentar