Rabu, 11 Juli 2012

malam hari sebuah kafe



kita duduk, dalam cinta, tapi tidak pernah bicara

Aku
“Apa beda capuccino dan caffe latte atau espresso, kopi kan semuanya?”

Malam ini, dia menemukan hal baru. Kopi. Ketertarikan baru. Sebenarnya sejak dululah, dia yang memiliki dunia empat dimensi dan bukan tiga seperti apa yang selalu kulihat, seperti dunia tempat aku tinggal sekarang. Sehingga, sebenarnya jauhlah jarak antara kami, aku kewalahan mengikuti imajinasinya yang tinggi, aku kewalahan bagaimana harus membaca dunia dari dunianya sendiri. Dunia anti sosial yang dia bangun sendiri, kokoh berpagar terali besi, tinggi. Tetapi indah. Dan malam ini, kopi akhirnya menjadi kata-kata yang coba dia kalikan bersama waktu.

Kuceritakan padanya tentang keberhasilan starbucks. Aku lebih dulu daripadanya untuk pengetahuan semacam ini. Dia manggut-manggut mengerti, tersenyum seperti biasanya. Tersenyum dengan gigi-gigi rapi yang diperlihatkan diantara dua rekahan bibir yang kedua pangkalnya menyimpulkan lesung.

Hatiku seperti terembesi air hangat, yang menyeka seluruh dindingnya, dan menyerbu tuas kendali dari seluruh perasaan hangat yang mengaliri tubuh. Aku merindukannya. Aku telah lama merindukannya, tapi kukendalikan susah payah melalui hari-hari yang padat jadwal.
“ada apa?” tiba pertanyaanku pada akhirnya, ada apa, sebuah alasan yang menyeretku duduk di kursi ini.

#
Kamu
“Ada apa?”
itu saja pertanyaanmu. Haruskah semua ada apa-apanya untuk terjadi. Haruskah ada alasannya kenapa sesuatu terjadi. Itukah yang dijadikan gaya hidup orang-orang sepertimu? Yang bahkan tidak menyukai jalan-jalan atau main-main. Yang hidup dengan sangat nyata, menjejak tanah dan berlari sekencangnya, untuk meraih dunia dan luar dunia. Yang sangat melihat semuanya dari hitungan matematis, fakta empiris. Haruskah semua dihitung untung ruginya kamu datang kemari?. Jika iya, tapi kamu alfa satu hal, seharusnya kuhitung berapa harga yang mesti kamu bayar untuk menyuruhku menjadi tukang arsip dan dokumentasi semua kejadian biar tidak melukaimu, kejadian bersama. Jika kita ini panitia sebuah event, pasti kamu sie acaranya, dan aku sie pdd nya, semua dokumentasi event yang kamu bikin detailnya, harus kusimpan tanpa pernah tau TOR yang memuat semua alasan dan tujuan rinci kau melakukannya. Aku hanya menyimpan secara buta, kegagalan acaranya. Dan kamu terluka karena telah gagal, semua arsip kegagalanmu, kegagalan kita, aku yang simpan, kamu yang buat.
Dan sekarang kamu berkata ada apa.
Tapi duniamu yang lebih nyata itu, yang kuanggap telah maju beberapa langkah dari duniaku itu, coba kuantisipasi. Telah kusiapkan alasan yang masuk akal dan rasional yang telah kuberitahukan sejak pertemuan ini kuminta. Itu bukan mengada-ada tapi bukan alasan utama.
Tahukah kamu tentang komunitas baru yang coba aku buat? Tahukah kamu tentang resignku dari beberapa lembaga, tahukah kamu sekarang aku menulis skenario, tahukah kamu tentang rencana ujianku, tahukah kamu aku sedang mendalami kopi ala ala barista profesional, tahukah kamu aku rajin minum omega sekarang?
Tapi tahukah kamu, besok aku harus melakukan kejahatan (lagi)?

#
Aku
Kamu melakukan kejahatan itu lagi, aku sudah lupa menghitung ini kali keberapanya, kamu merengek minta ditemani minum dengan banyak alasan, dan untuk alasan itu –yang kadang juga diboncengi rindu- akhirnya aku duduk didepanmu memesan kopi yang lebih kamu dahului dengan pesananmu. Lemon tea. Lalu bicara yang tidak penting, membawa-bawa duniamu yang meskipun indah, tetapi abstrak. Membawa-bawa kalimat yang memuai-muai dalam otakku yang mulai lelah. Mendidikku menjadi cenayang, dengan cara kamu latih intuisiku untuk menebak perasaan hatimu melalui air matamu yang tiba-tiba hampir jatuh dari ujung matamu. Atau tiba-tiba, kamu berbicara soal saos sambal padahal sebelumnya kita sedang bicara mesin motor. Atau mulutmu yang sama sekali tak terbuka sedikitpun, atau hembusan napas berat yang menjadi penutup tatapan kosongmu. Atau lagu-lagu kecil yang kamu gumamkan, segelas espresso yang tiba-tiba kamu habiskan, posisi duduk yang gelisah, muka yang ketus. Terakhir sihir utamamu yang bagi orang2 tak berlesung pipi, itu tidak boleh dijadikan standar dunia, senyummu.
Kamu akan menghabiskan, 15 menit, 2 jam, atau bahkan seharian tanpa bicara apa masalahmu. Apa masalahmu. Aku tak punya banyak waktu. Dan aku memiliki batas kesabaran.

#
Kamu
Aku akan bersabar selama mungkin. Seumur hidup, seumur mati. Aku akan bersabar selama mungkin, lebih lama dari usia hidupku. Kenapa kamu tidak bisa bersabar.
Aku punya banyak alasan untuk menyerah darimu, tapi aku memiliih tinggal. Sementara kamu memiliki banyak alasa tinggal tapi menyerah dariku.


1 komentar: