Tiket
pulangmu kubeli dengan diam kepadamu sepanjang hari; karena kupikir memberimu
sebuah hari tanpa suaraku akan membuatmu merindukanku. Lalu kamu pulang.
Tiket
pulangmu kubeli dengan bepergian sepanjang pekan;
karena kupikir menjaga
jarakku sangat jauh darimu akan membuatmu mencariku. Lalu kamu pulang.
Tiket
pulangmu kubeli dengan mengantri obat di apotek; karena kupikir kamu harus
melihat aku tidak lagi manja, dan mau minum obat, kamu ingin melihat itu. Lalu
kamu pulang.
Tiket
pulangmu kubeli dengan bulan-bulan insomnia; karena kupikir kamu disana sedang
begadang bekerja –atau malah nonton bola-, dan kamu butuh teman. Lalu kamu
pulang.
Tiket
pulangmu kubeli dengan semua peristiwa bersama; karena kupikir jika kamu
mengingat kamu pernah berada disana denganku, maka kamu merasa terlalu jahat
meninggalkanku sendirian. Lalu kamu pulang.
Tiket
pulangmu kubeli dengan bulldoser besar yang mengadakan perluasan dada; karena
kupikir aku harus lebih lapang dada untuk menunggumu. Lalu kamu pulang.
Tiket
pulangmu kubeli dengan ketawa dan senyuman; karena kupikir jika melihatku
tertawa kamu akan menyangka aku telah menerima. Lalu kamu pulang.
Tiket
pulangmu kubeli dengan doa yang panjang; karena kupikir jika alasanmu pergi
adalah takdir, maka memintamu pulang juga takdir. Lalu kamu pulang
Tiket
pulangmu, bertanggal seumur hidup.
Kukirimkan
padamu melalui tukang pos.
Telah
sampaikah padamu?
Atau
sudah kamu sobek, karena kamu tidak suka lagi.
Aku
masih akan membelikanmu lagi tiket pulang, meski tidak banyak lagi daya
tersisa.
Masihkah
kamu akan mengacuhkan tiketnya.
0 komentar:
Posting Komentar