kita duduk, dalam cinta, tapi tidak pernah bicara |
Aku
“Apa beda capuccino dan caffe latte atau espresso,
kopi kan semuanya?”
Malam ini, dia menemukan hal baru. Kopi. Ketertarikan
baru. Sebenarnya sejak dululah, dia yang memiliki dunia empat dimensi dan bukan
tiga seperti apa yang selalu kulihat, seperti dunia tempat aku tinggal
sekarang. Sehingga, sebenarnya jauhlah jarak antara kami, aku kewalahan
mengikuti imajinasinya yang tinggi, aku kewalahan bagaimana harus membaca dunia
dari dunianya sendiri. Dunia anti sosial yang dia bangun sendiri, kokoh
berpagar terali besi, tinggi. Tetapi indah. Dan malam ini, kopi akhirnya menjadi
kata-kata yang coba dia kalikan bersama waktu.
Kuceritakan padanya tentang keberhasilan starbucks.
Aku lebih dulu daripadanya untuk pengetahuan semacam ini. Dia manggut-manggut
mengerti, tersenyum seperti biasanya. Tersenyum dengan gigi-gigi rapi yang
diperlihatkan diantara dua rekahan bibir yang kedua pangkalnya menyimpulkan
lesung.
Hatiku seperti terembesi air hangat, yang menyeka
seluruh dindingnya, dan menyerbu tuas kendali dari seluruh perasaan hangat yang
mengaliri tubuh. Aku merindukannya. Aku telah lama merindukannya, tapi
kukendalikan susah payah melalui hari-hari yang padat jadwal.
“ada apa?” tiba pertanyaanku pada akhirnya, ada apa,
sebuah alasan yang menyeretku duduk di kursi ini.
#
Kamu
“Ada apa?”
itu saja pertanyaanmu. Haruskah semua ada apa-apanya
untuk terjadi. Haruskah ada alasannya kenapa sesuatu terjadi. Itukah yang
dijadikan gaya hidup orang-orang sepertimu? Yang bahkan tidak menyukai
jalan-jalan atau main-main. Yang hidup dengan sangat nyata, menjejak tanah dan
berlari sekencangnya, untuk meraih dunia dan luar dunia. Yang sangat melihat
semuanya dari hitungan matematis, fakta empiris. Haruskah semua dihitung untung
ruginya kamu datang kemari?. Jika iya, tapi kamu alfa satu hal, seharusnya
kuhitung berapa harga yang mesti kamu bayar untuk menyuruhku menjadi tukang
arsip dan dokumentasi semua kejadian biar tidak melukaimu, kejadian bersama.
Jika kita ini panitia sebuah event, pasti kamu sie acaranya, dan aku sie pdd
nya, semua dokumentasi event yang kamu bikin detailnya, harus kusimpan tanpa
pernah tau TOR yang memuat semua alasan dan tujuan rinci kau melakukannya. Aku
hanya menyimpan secara buta, kegagalan acaranya. Dan kamu terluka karena telah
gagal, semua arsip kegagalanmu, kegagalan kita, aku yang simpan, kamu yang
buat.
Dan sekarang kamu berkata ada apa.
Tapi duniamu yang lebih nyata itu, yang kuanggap
telah maju beberapa langkah dari duniaku itu, coba kuantisipasi. Telah
kusiapkan alasan yang masuk akal dan rasional yang telah kuberitahukan sejak
pertemuan ini kuminta. Itu bukan mengada-ada tapi bukan alasan utama.
Tahukah kamu tentang komunitas baru yang coba aku
buat? Tahukah kamu tentang resignku dari beberapa lembaga, tahukah kamu
sekarang aku menulis skenario, tahukah kamu tentang rencana ujianku, tahukah
kamu aku sedang mendalami kopi ala ala barista profesional, tahukah kamu aku
rajin minum omega sekarang?
Tapi tahukah kamu, besok aku harus melakukan
kejahatan (lagi)?
#
Aku
Kamu melakukan kejahatan itu lagi, aku sudah lupa
menghitung ini kali keberapanya, kamu merengek minta ditemani minum dengan
banyak alasan, dan untuk alasan itu –yang kadang juga diboncengi rindu-
akhirnya aku duduk didepanmu memesan kopi yang lebih kamu dahului dengan
pesananmu. Lemon tea. Lalu bicara yang tidak penting, membawa-bawa duniamu yang
meskipun indah, tetapi abstrak. Membawa-bawa kalimat yang memuai-muai dalam
otakku yang mulai lelah. Mendidikku menjadi cenayang, dengan cara kamu latih
intuisiku untuk menebak perasaan hatimu melalui air matamu yang tiba-tiba
hampir jatuh dari ujung matamu. Atau tiba-tiba, kamu berbicara soal saos sambal
padahal sebelumnya kita sedang bicara mesin motor. Atau mulutmu yang sama
sekali tak terbuka sedikitpun, atau hembusan napas berat yang menjadi penutup
tatapan kosongmu. Atau lagu-lagu kecil yang kamu gumamkan, segelas espresso
yang tiba-tiba kamu habiskan, posisi duduk yang gelisah, muka yang ketus.
Terakhir sihir utamamu yang bagi orang2 tak berlesung pipi, itu tidak boleh
dijadikan standar dunia, senyummu.
Kamu akan menghabiskan, 15 menit, 2 jam, atau bahkan
seharian tanpa bicara apa masalahmu. Apa masalahmu. Aku tak punya banyak waktu.
Dan aku memiliki batas kesabaran.
#
Kamu
Aku akan bersabar selama mungkin. Seumur hidup,
seumur mati. Aku akan bersabar selama mungkin, lebih lama dari usia hidupku. Kenapa
kamu tidak bisa bersabar.
Aku punya banyak alasan untuk menyerah darimu, tapi
aku memiliih tinggal. Sementara kamu memiliki banyak alasa tinggal tapi
menyerah dariku.
tinggalkan
BalasHapus