“S”
Gemetar kamu
pencet tombol yang menyebabkan huruf itu muncul di layar handphonemu. Berpagi-pagi
telah kamu biasakan ini, tapi nyatanya kamu belum dapat melakukannya dengan
baik. Kamu seperti orang bodoh yang tetap membakar ujung kainmu padahal kamu
tau tubuhmu giliran berikutnya, kamulah orang bodoh itu. Tapi segalanya samar,
apakah tabah apakah bodoh, samar, dan kamu tidak peduli. Dia juga.
“e”
Kamu pencet
tombol berikutnya untuk huruf kedua. Terbalut mukena tubuhmu baru saja sembuh
dari udara yang membentur-bentur dadamu kesana-kemari, dibutuhkan meditasi
untuk merapikan hembusannya, kamu tersengal-sengal oleh nafasmu yang salah
jalur, setiap paginya. Kamu masih gemetaran, berada diantara batas pergi dan
tinggal, sekalipun tidak ada lagi rumah jika kamu tinggal, dan tidak ada tujuan
jika kamu pergi. Dan kamu tidak peduli. Dia juga.
“l”
“a”
El, huruf
berikutnya, sebelum kamu susulkan huruf a dengan cepat, kamu hanya tidak ingin
memberi jeda lama-lama, bagi dadamu yang semakin ngilu. Kamu hanya ingin tau,
kamu masih layak menerima radiasi matahari, tanpa konduktor. Tapi siapapun juga
tau sepi itu membunuh, jika tanpa siapapun berada dalam jarak yang mampu kamu
gapai, kamu akan kuat. Kamu kuat karena kamu berusaha bertahan setiap pagi,
tapi sepi menjadi musuh kekuatan, dia rakus memakan semua energimu. Tapi kamu
tidak peduli. Dia juga.
“m’
Cukup, berhentilah
kamu. Pergilah kamu, cari alasan lain untuk tidak perlu melanjutkan ini. Kami
akan tertawa lebih keras jika kamu tersenyum, dan menangis lebih pilu jika kamu
bersedih. Gunakan sel-sel otakmu dengan baik untuk berpikir, haruskah kamu
memaksa duduk pada kursi yang bahkan sudah tidak mau kamu duduki. Dia
barangkali ingin berdebu selamanya. Tapi kamu tidak peduli. Dia juga.
“a”
Kamu terlihat
ragu menuliskan lagi huruf ini. Ini berjuta kalinya kamu teringat bagaimana dia
menunggu tiga puluh menit di muka pintumu, kamu tertidur. Dan kamu akan
membalasnya dengan menunggu 30 juta kali kenangan yang mampir, dan 30 juta kali
harapan yang dipatahkan. Kamu mencoba menjadi ajaib ditengah tubuhmu yang
berteriak-teriak minta ampun tak sanggup.
“t”
Seperti itu,
selalu setiap kamu berencana menyerah untuk keep
in touch, ada secuil bagian dari dirimu yang mengaggalkannya. Kamu gagal
menyerah, semata karena kamu percaya, dia pada suatu hari akan menyalakan
obor-obor di lorong yang kamu jalani sekarang. Lorong yang kehabisan cahaya,
waktu teman jalanmu memutuskan melewati jalanan aspal yang jika siang bertabur
matahari dan cahaya lampu kota tak redup jika malam tiba. Dan dia masih tidak
peduli.
“p” “a” “g’
“i” ......
Kata-katamu
bahkan lebih rendah dari dendam, jika dendam saja berbalas, maka kata-katamu
tidak, tidak peduli apakah berbalas atau tidak, tidak peduli apakah berbalas
sama indahnya ataukah bahasa-bahasa yang melukai, kamu tidak peduli. Dia
apalagi
Kamu tidak
peduli. Dia apalagi.
lagi2 selamat pagi
BalasHapus