Aku
mengusap alisku, Allah telah menciptakannya tumbuh dengan rapi pada dahiku,
mereka masih basah karena air yang kubasuhkan ke wajahku sekitar semenit yang
lalu. Sebenarnya itu bukan basuhan, telah lebih dari 5 menit kucelupkan wajahku
pada sebuah baskom, sampai megap-megap baru aku tarik kepalaku meminta nafas
pada udara.
Mereka
hitam, lebih hitam dari bola mataku, lebih hitam dari semut-semut yang menghuni
kepalaku. Mereka tetap disana, seperti semua organ tubuhku menetap, menemaniku
kapan saja. Betapa Allah Maha Pemurah, bahkan pada saat-saat seperti ini, aku
masih memiliki mereka, organ-organ tubuhku lengkap, meskipun tidak lagi
berfungsi sempurna. Apa jadinya aku tanpa alis, aku tanpa lidah, aku tanpa
pipi, aku tanpa pori-pori, aku tanpa hidung, tanpa kuping, tanpa bulu mata,
tanpa bulu hidung, tanpa bibir.
Kadang
mereka bisa jadi sangat kuat, melindungi mataku dari debu, menyaring kotoran
agar tak masuk tubuhku, mencecapkan rasa, menyampaikan kata-kata. Tapi kadang
mereka jadi penghianat. Penghianat, bukan-bukan, mereka lebih tepatnya tidak
berdaya, saat serangan dari luar datang, justru bukan seperti debu yang jahat,
atau angin yang dingin. Mereka tak berdaya dibawah kendali nafsu.
Aku
mulai duduk pada kursi yang disediakan didepan cermin, berbatas meja berisi
pernak-pernik yang kukoleksi, aku menghadapinya. Aku membasuh kelopak mata,
karena giliran urut dari alis adalah kelopak mata. Alasan lain, kenapa giliran
berikutnya adalah kelopak mata, memang bukan semata urutan random, tapi aku
meminta giliranku sendiri untuk mengatur detak jantungku, menguasai perasaanku,
mengendalikan ketakutanku, meditasi sebentar sambil mengusap kedua kelopak
mataku. Mataku panas, oleh air yang mendidih dari semua kelenjar mata.
Produksinya malam itu sangat banyak. Nafasku meminta untuk ditenangkan,
jantungku berhenti sebentar memompa darah.
Gemetar,
pelan-pelan kuselesaikan giliran kelopak mataku diusap, menuju gilran hidungku,
aku membuka mata, hitungannya setengah setengah, hingga tiga. Setengah, satu,
satu setengah, dua, dua setengah, tiga.
Mataku
sempurna terbuka, butuh waktu 5 detik menyempurnakan pandangannya. Dalam 5
detik itu aku berdoa agar tidak menemui apa-apa nanti pada detik ke enam. Tapi
barangkali doaku terlambat, kuhadapi juga siapa musuhku. Musuh yang begitu aku
takuti. Selama ini dia telah hidup sebagai parasit dalam tubuhku, begitu saja.
Aku
yakin saat itu mataku membulat menatapnya, perempuan dengan rambut tipis, yang
matanya seperti merah. Aku tau dia baru saja menangis. Tulang pipi yang kentara
menunjukkan bahwa itu bukan kembaranku, tapi alisnya yang rapi, bola matanya
yang tidak hitam, dahinya yang lebar, dan bibirnya yang putih gemetar, dia
mengingatkanku pada seseorang, ah tapi dimana.
Dia
menatapku, bukan tajam, tetapi dalam, seperti mau merogoh sesuatu didalamku.
Mengamatiku. Lalu tersenyum.
“Apa
kabar?, baikkah?, bagaimana?, coba kamu raba dadamu, bagaimana detak jantungmu,
coba kamu elus kepalamu, masih kedinginan, masih belajar mengatur nafas?, kamu
lambat sekali belajar, keadaan semenyedihkan kamu ini harus belajar cepat
hal-hal yang dapat menolongmu, misal, belajar mengatur nafas, berapa kali nafas
kamu salah jalur dan kamu megap-megap minta tolong tapi tidak juga keluar
suaranya? Kamu bisa mati bodoh kalau seperti itu!”
Dia
tersenyum, sambil memainkan beberapa pensil yang kukumpulkan dalam satu kaleng
permen di pojok meja. Dia, seenaknya saja menyentuh barang-barangku. Mengambil
pensilku satu-satu dan mencoret-coret bukuku, seenaknya, semaunya,
menusuk-nusukanya ke meja, hingga tumpul, dan sekumpulan batu-batu kali kecil
yang kukumpulkan dari puluhan kali berbeda, dia tumpahkan dari sekian botol
vitamin yang kukelupas merknya. Bunga-bunga dari kertas jepun bertangkai lidi
pun tak luput dari sapuannya, dicium, pura-pura ada wanginya.
“hmmmm....,
wanginya, coba saja kamu cium,” dia menyodorkan dua tangkai yang berwarna
merah, wajahku refleks menjauh mundur.
“haha,
kenapa?, teringat seuatu, teringat hadiah sebuket mawar yang tidak kamu terima?
Dan kamu menyesal?” tetap dia ciumi bunga kertas itu.
“o!
Tidak menyesal? Tapi kamu membuang sebuket, karena sebuket itu dari orang
lain?, kamu ingin yang setangkai dua tangkai itu kan, oleh seorang pangeran
yang bukan khayalan, tapi pangeran yang menyerah terhadap kamu?.... ahhh,
bukannya waktu itu kamu bilang mendapat selamat ulang tahun lebih dini dari
siapapun sudah cukup, ingat saja cukup, kamu tidak mengingikan mawar.
Iya?
Tapi malang, seharusnya kamu tidak membuang sebuket itu. Siapa tau ada yang
membawakanmu kenanga, kamboja, anyelir, melati, tulip, anggrek, matahari,
cempaka, baby’s bread... jadi kamu bisa buka toko bunga” dia ketawa, sedikit
ngakak, tapi dia langsung mengendalikan diri.
Aku
benci dia. Aku muak. Aku bangkit dari dudukku seketika.
“‘e..e..e...eit.ets,
mau kemana? Mau pergi, untuk melakukan lagi latihan pergi duluan?, percuma nona
manis, sini sini sini, tetap duduk didepanku, dan berbincanglah denganku, sudah
lama kamu tidak mendengarkan aku”
Aku
ragu.
“minumlah
beberapa Machiato bersamaku, sini kubantu mengusap pipimu yang manis itu....” tawarnya.
Aku
kembali duduk, pelan-pelan, beberapa kali kubetulkan letak dudukku, aku
gemetaran. Untuk orang sepucat itu, dia terlalu serius kata-katanya. Aku
mengerti maksudnya, dia sedang menuju sesuatu, masa laluku dan baru saja
kuputuskan untuk melupakan masa tersebut sesaat sebelum lima menit dalam
rendaman air baskom.
“Cukup.
Kamu tidak berhak mengejekku dengan itu, mereka masa laluku, kebetulan mereka
sangat tajam untuk dirawat dalam ingatanku.....”
“.....aku,”
“......berniat
melupakan mereka.” Patah patah kuucapkan serangkaian kata ini, semacam ada
bagian yang mustahil dalam kalimatku, tapi sudah terlanjur kuputuskan.
“ck,ck,ck,ck....”
dia berdecak, kedengaran sangat menjengkelkan.
Selesai
menaruh dua tangkai mawar kertas, dia menuju laptopku. Memainkan kursornya,
menuju file-file yang akrab sekali kubuka akhir-akhir ini. Nama-nama folder
yang sengaja kubikin aneh, seperti sudah sangat dia hafal, dimana aku menyimpan
lagu, dimana aku menyimpan foto, dan menyimpan tulisan-tulisanku.
“O!
Ini puisi ulang tahun itu? Wah wah wah, kadang-kadang kamu juga jago
merontokkan pertahanan orang” dia melirikku, menggemaskan.
Lalu
dengan deklamasi yang dibikin-bikin, seperti anak kelas tiga SD didepan kelas,
dia mulai membaca,
Tiup lilinnya, ............biar
gelap ....atau ..... terang sekalian....
Karena..... dalam remang cahaya
lilin...
Aku
tak ingat lagi dia bilang apa, memuakkan. Aku sibuk mengusap pipiku dan
telingaku.
“Aku
sudah akan melupakannya!” bentakku.
Dia
kaget, berhenti memegang mouse, dan diam. Setelah menetapku sebentar, dia
tertawa.. terus, sampai hampir sakit perut.
“
Kamu bilang melupakannya?” dia menyodorkan mukanya, menyisakan jarak sesenti
saja antar hidung kami, entah kenapa aku refleks mundur ketakutan. Terjatuh
dari kursiku, temperatur sehangat itu, bau nafas sedekat itu, aku rasa aku
pernah mengenalnya. Tetapi mengerikan.
“
aku pikir itu kamu,..... “ tapi aku duduk lagi saat mendengar dia mulai
bicara..
“.......
Yang duduk di balkon sambil sesekali melongok kebawah, yang duduk di teras
sambil berharap kedatangan tamu, yang duduk di kursi tamu, yang berharap ada
orang didepan gerbang saat kamu baru saja menguncinya, yang kesal pada
handphone kamu, yang mengunjungi sebuah rumah tapi tidak berani mengetuk
pintunya padahal ada orang didalamnya, yang kelihatan bego menunggu di rumah
yang tidak lagi sama, yang membaca ulang semua arsip dan dokumentasi, yang
mengambil foto sembunyi-sembunyi?”
“aku
pikir itu kamu....” suaranya merendah
“.........
ini, bungkus-bungkus coklat ini, minuman botolan rasa jeruk itu, vitamin c
dalam botol kaca itu, mi goreng ini, sekardus teh itu, keranjang parsel itu,
botol-botol vitamin B itu, itu hanya kebetulan kamu beli?”
“....tempat
makan ayam yang kamu kunjungi sendirian, tempat minum teh yang bahkan kamu
bantu saat tutupnya, tempat makan prasmanan di kursi pojokan yang terpisah,
jalan-jalan di pusat kota sendirian?, pohon-pohon rindang di pusat belajar?,
baju biru lautmu, baju ungumu, baju putihmu, bross permenmu, surat-surat
perkuliahanmu, laptopmu, kotak obatmu, jaketmu, tempat cucimu, embermu, bau
yang tidak bisa kamu ciptakan itu, barbershop, supermarket ternama itu,
lagu-lagu itu, buku-buku tebal yang membosankan itu, perempatan kampus, tukang
jual jus...dan, ck, aaaahk...
.....kota
ini bahkan bumi ini seluruhnya menyimpan dia!”
“Kamu
yakin melupakannya?”
Aku
diam.
“Sayang
sekali aku tidak. Yakin!”
Dia
menghela nafas, sebenarnya kenapa repot-repot dia mengurusi urusanku.
“Kuberitahu kamu, energi kamu itu, energi kamu yang
tinggal sedikit itu, jangan kamu pakai buat sesuatu yang sia-sia....”
Sia-sia?
“.......
kecuali kamu hidup di Uranus sana, selama kamu masih hidup di bumi, energi yang
hanya beberapa garis dari batas terendah itu, akan terbuang percuma”
“untuk
membuangnya saja menghabiskan energi apalagi untuk menolaknya,
Kamu,
Cuma
perlu, untuk.,
Menerimanya”
“Lihat
kesini, menerimanya...”
Seperti mendapatkan parcel yang
berisi banyak barang, paling tidak kamu harus mengeluarkan energi untuk
membuangnya ke tong sampah, atau bahkan justru kamu menolak dari awal, kamu
akan mengecewakan si pemberi, kamu butuh dalih alasan untuk menjelaskannya.
Tapi coba kamu terima saja, duduk dan atur nafasmu, lihat, parcelnya cantik
kan, pemberinya sengaja membingkiskannya untuk kamu, parcel kamu tidak pernah
sama dengan parcel orang lain, begitu juga sebaliknya, buka pitanya, buka
bungkusannya, bongkar satu persatu, memang ada banyak sampah dan duri sengaja
di letakkan disana, tapi kamu lihat, ada bolpoin emas disana, ada pakaian dengan
manik-manik indah, ada buku-buku kesukaanmu, ada banyak barang yang bagus
untukmu. Kamu hanya perlu hati-hati memilihnya, membuang duri, atau menyisihkan
sampah, meniup debu-debunya. Seharusnya kamu bisa memilih mana yang kamu
simpan.
##
Keesokan
harinya, aku menemukan gambar perempuan dalam cermin itu, di buku tahunan
kelasku, dia menggunakan nama terangku sebagai identitas gambar itu.
Ya
Allah.....
0 komentar:
Posting Komentar