lihat betapa sederhananya ini. |
Rabu, 29 Februari 2012
Minggu, 26 Februari 2012
semut dan istananya
Bukan Cuma daun, mereka juga membawa remah-remah makanan. Bersama-sama. Tapi pernahkah kalian tau kemana sebenarnya mereka pergi?. Ke rumah mereka. Seperti setiap manusia yang seharusnya punya rumah, rumahnya, kos nya, kontrakannya, atau kampusnya yang terasa seperti rumah, atau jiwa orang lain yang terasa seperti rumah buat dia. Pada akhirnya, memang setiap kita-manusia- membutuhkan tempat kembali untuk bernaung, tidak perlu terlalu risau sebenarnya, tempat kembali itu Allah, -ingat mantra patronum-, dan pada akhirnya setiap kita-manusia- membutuhkan seseorang atau sesuatu tempat yang seperti rumah buat dia (rumah=nyaman).
Ini ada sedikit dongeng tentang kemana sesungguhnya semut-semut itu menuju.
forgive
Ealah, Allah aja maafin kok, masa kita enggak. Ceritanya kenapa? Mau nyaingin gitu?
Nggak usah berlebihan ngasih nilai ke diri sendiri dulu deh, lagi ngebayanginyya kita dapat makan siang ayam, ternyata cuman dapet ikan asin.
Rabu, 22 Februari 2012
tanpa engkau
aku masih ingat ketika ibu melepasmu jam lima pagi tadi, belum terang tanah, ketika engkau mencium kening ibu dan ibu mencium punggung tanganmu.
kalian baru saja selesai sholat shubuh, aku masih membawa selimutku saat ibu membukakan gerbang untukmu.
hari ini aku tak diantar engkau lagi.
aku belajar tak akan pedih lagi, ketika di beberapa rumah meja makannya di huni oleh seorang ibu,
kalian baru saja selesai sholat shubuh, aku masih membawa selimutku saat ibu membukakan gerbang untukmu.
hari ini aku tak diantar engkau lagi.
aku belajar tak akan pedih lagi, ketika di beberapa rumah meja makannya di huni oleh seorang ibu,
Selasa, 21 Februari 2012
Apa yang kau inginkan, aku juga memimpikan.
Sisi satu
Akhirnya semua terjadi juga , yang kutakutkan, yang kuelakkan
Keresahan ini tak seharusnya terjadi
Seakan jurang tercipta untuk kita
Slalu kucoba menghangatkanmu
Dengan sebatang lilin
tinggalah dulu disini
Tinggalah disini, karena tinggal kalian yang aku punyai.
Tinggalah dulu disini, paling tidak hingga kalian harus tinggal bersama orang lain.
Tinggalah disini, pegang tanganku
Tinggalah disini, karena aku hendak minta tolong ; tolong usap punggungku yang bergetar hebat saat menangis.
Tinggalah dulu disini,
Tinggalah dulu disini, paling tidak hingga kalian harus tinggal bersama orang lain.
Tinggalah disini, pegang tanganku
Tinggalah disini, karena aku hendak minta tolong ; tolong usap punggungku yang bergetar hebat saat menangis.
Tinggalah dulu disini,
Surat ketigabelas
Aku melonjak girang, tak peduli dengan puluhan kaleng cat yang berserakan disekelilingku. Demi mendengar satu kabar yang kutunggu sejak akhir pekan lalu. Kabar yang menunda seluruh aktivitasku semingguan ini. Tak lain karena sahabatku yang tinggal jauh dikota sana, akhirnya berkirim surat lagi.
Aku menyesal tidak ada internet atau semacam apa yang canggih lainnya di kampung terpencil ini, sehingga kami harus berkirim surat kertas seperti ini.
Tentu saja aku bahagia, ini surat ketigabelas yang dia kirimkan padaku tahun ini.
Jangan hukum aku yang berpura-pura.
Aku bilang aku mau bohong
Aku bilang aku mau pura-pura
Karena aku pandai bermain drama.
Aku bilang aku mau pura-pura
Karena aku pandai bermain drama.
Minggu, 19 Februari 2012
keesokan sorenya
Dia membuat sendiri kopinya.
Dia bilang, itu pekerjaan hati. Dan kuakui, siapapun akan tergoda dengan kopi buatannya. Termasuk aku, aku adalah tehholic.
Dulu aku sering melewati kafenya, berhenti sejenak didepan kafenya untuk melihat tulisan-tulisan yang dipasang dipapan depan kafenya. Aku sering melihatnya melalui kaca kafenya yang terlalu bersih. Aku pikir suatu kali juga dia pernah memperhatikanku yang sering datang tapi tak pernah masuk.
Aku tau, betapa tersohor kenikmatan kopi di kafe ini. Tapi aku tidak mau berkhianat terhadap nyawaku, teh. Jadi belum ada niatan untuk mencoba satu cangkirpun dari kopi-kopi buatannya.
Setahun berlalu, dan kupikir dia terlalu cerdas untuk mendapatkan pelanggan.
Dia bilang, itu pekerjaan hati. Dan kuakui, siapapun akan tergoda dengan kopi buatannya. Termasuk aku, aku adalah tehholic.
Dulu aku sering melewati kafenya, berhenti sejenak didepan kafenya untuk melihat tulisan-tulisan yang dipasang dipapan depan kafenya. Aku sering melihatnya melalui kaca kafenya yang terlalu bersih. Aku pikir suatu kali juga dia pernah memperhatikanku yang sering datang tapi tak pernah masuk.
Aku tau, betapa tersohor kenikmatan kopi di kafe ini. Tapi aku tidak mau berkhianat terhadap nyawaku, teh. Jadi belum ada niatan untuk mencoba satu cangkirpun dari kopi-kopi buatannya.
Setahun berlalu, dan kupikir dia terlalu cerdas untuk mendapatkan pelanggan.
Pada sebuah sore
Sejak kumulai sore tadi belum ada satu cangkir kopi pun yang kuramu. Hujan diluar sedang lebat, dan itu menyebabkan tak seorang pun mau beranjak dari balutan selimutnya yang tebal, mengerjakan pe-er nya masing-masing.
Ya, kecuali seorang perempuan yang datang tergopoh-gopoh sambil menyapaku. Begitulah, aku menjadi terlalu akrab dengan pelanggan-pelangganku.
Dia duduk pada tempat favoritnya, dekat colokan listrik dan dekat jendela. Sekejap kemudian aku menyusulnya. Membawakan kopi kesukaanya yang tidak terlalu manis. Ya, dan aku telah hafal bagaimana menyenangkan hati pelangganku.
Karena tidak ada yang lain yang datang, kami sempatkan mengobrol.
Dia meminum kopinya. Kopi yang akhirnya kutemukan ramuannya yang pas untuknya. Kopi asli dengan sedikit gula, dengan es batu, dan susu yang terpisah, dia sendiri yang harus menuangkan kopi ke dalam susunya. Butuh sekitar enam bulan untuk mengenali selera kopi seseorang, semua pelangganku, begitu juga dia. Tapi aku belum mengerti berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menerjemahkan kebiasaan duduknya di kafe ini. Dia suka duduk dekat sumber listrik dan jendela.
Kami diam. Dia menjadi pelangganku sudah lebih dari dua tahun, barangkali bisa tiga kali seminggu dia datang kemari. Kami sudah bicara banyak yang aku pikir sudah terlalu banyak, meskipun belum dapat untuk menebus sebuah terjemahan arti pilihan duduknya, tapi aku rasa aku sudah masuk ruang tamu rumahnya.
Kenapa kamu membuat kafe kopi.
Rabu, 15 Februari 2012
hey! jangan terluka
Malam ini akhirnya kami selesai bicara, dengan leganya dia tersenyum. Jelas dengan air mata yang terus coba ia seka, karena air mata itu terus mencoba keluar dari matanya. Berkata terbata-bata dia menyukai ini, menyukai memilikiku dan memiliki waktu-waktu seperti ini. Dimana dia menceritakan segalanya, setidaknya memang bukan aku yang dapat menyembuhkannya-sekalipun jika dia terluka-, tapi ada yang dibagi.
Aku mengenali, air mata itu.
hey! ini senin
Lega melihat banyak orang tersenyum hari ini. Sekalipun tersenyum bukan untuk kita. Setidaknya berarti dia sedang bahagia. Kalaupun tidak, setidaknya dia orang yang menang, memenangkan senyumnya dari pertarungan dengan jutaan duka dihatinya.
Selasa, 14 Februari 2012
menulislah
Dia mengerdip-ngerdipkan cahayanya ke arah wajahku. Dia membujukku untuk menyentuhnya, sebentar saja. Tapi aku terlalu kenal, bagaimana jari dan hatiku bersekongkol melelahkan mataku hingga pagi buta jika sekali saja seluruh kabel diotakku terhubung baik dan ribuan lampu ide menyala.
Menyentuhnya dan membiarkan seluruh nyala lampu itu dilayani, begitu bersemangat menurutku, akhirnya kelelahan sendiri.
Tapi malam ini, selarut ini,
Menyentuhnya dan membiarkan seluruh nyala lampu itu dilayani, begitu bersemangat menurutku, akhirnya kelelahan sendiri.
Tapi malam ini, selarut ini,
Sabtu, 11 Februari 2012
Melepaskan api kepada hujan
Aku bukan penakluk api. Aku bukan tukang pemadam kebakaran, dan aku bukan orang yang nyaman dengan api, meski itu hanya untuk menyalakan rokok.
Seumur hampir duapuluh tahun, aku mengenal api.
Tapi baru kali ini aku berani memegang api.
Ceritanya begini.
Siang, ketika aku duduk dengan secangkir teh dan sebuah buku yang tidak kubaca, menghadap ke luar toko. Aku melihat seseorang lewat, dan membawa sebuah bungkusan. Aku jelas melihatnya berjalan dan sepertinya dia kemudian jelas melihatku yang telah melihatnya sejak diujung jalan tadi.
Dia sadar jika tengah kuperhatikan,
Minggu, 05 Februari 2012
!
terlambat menyadari ini tanggal 5 dan FLP hari terakhir, tapi tidak ada satu tulisan pun bahkan yang tidak penting bisa ditulis.
Kamis, 02 Februari 2012
menua bersamamu
Menulis dalam udara pagi yang tergambarkan berbeda oleh setiap hati
“........hidup-hiduplah dan bersinarlah. Apapun yang terjadi. Hidup-hiduplah seperti sesuatu yang bersedia kehilangan apapun. Seperti udara pagi yang menumbuhkan perasaanmu, lalu dia diam saat kamu meninggalkanya, untuk bertakdir dengan siang”
Maka seperti bicara bunga yang menemukan pot yang tepat :
Aku ingin menua bersamamu
Aku akan menahan akarku untuk tidak perlu menjangkau tanah terlalu jauh
“........hidup-hiduplah dan bersinarlah. Apapun yang terjadi. Hidup-hiduplah seperti sesuatu yang bersedia kehilangan apapun. Seperti udara pagi yang menumbuhkan perasaanmu, lalu dia diam saat kamu meninggalkanya, untuk bertakdir dengan siang”
Maka seperti bicara bunga yang menemukan pot yang tepat :
Aku ingin menua bersamamu
Aku akan menahan akarku untuk tidak perlu menjangkau tanah terlalu jauh
matahari
Menulis dalam tempa hangat sinar matahari
“........akhirnya kita sampai pada bagian bahwa kita telah jatuh cinta {dewi dee}. namun hal itu hanya dapat kita gapai sebatas waktu yang menjadi jatah kita. Dimana perahu kertas menjemputmu, kembali dalam lautan yang berbeda, meninggalkan sepasang kaki yang terhenyak bahwa pasir yang disampingnya tak lagi melesak. tentu saja tinggal tapak yang jika air pasang, yang baru datang, dia hilang. “
Karena matahari tertakdir begitu setia
“........akhirnya kita sampai pada bagian bahwa kita telah jatuh cinta {dewi dee}. namun hal itu hanya dapat kita gapai sebatas waktu yang menjadi jatah kita. Dimana perahu kertas menjemputmu, kembali dalam lautan yang berbeda, meninggalkan sepasang kaki yang terhenyak bahwa pasir yang disampingnya tak lagi melesak. tentu saja tinggal tapak yang jika air pasang, yang baru datang, dia hilang. “
Karena matahari tertakdir begitu setia
Langganan:
Postingan (Atom)