Aku kadang nggak ngerti dengan hari-hari seperti ini.
Dulu, aku bangun dalam gegap gempita pagi, kamarku penuh, karena ada
banyak anak kecil yang malam ini menginap di kamarku, sepupu-sepupuku. Di dapur
ibu, ada puluhan ibu-ibu sudah sibuk dengan asap dapur, walau sebenarnya kami
menggunakan kompor gas.
Rebutan mandi, antri ketawa dan bercanda. Riang sekali hari seperti
itu. Senyum dimana-mana.
Yang aku tau ada puluhan kentang yang di simpan dalam karung di dapur
dadakan yang diperluas oleh kakeku seminggu yang lalu. Aku kebagian job
mengupas dan memotong umbi yang satu itu. Waktu itu masih TK, sebisaku
kulakukan pekerjaan itu. Aku bahagia karena bertemu dengan kentang segitu
banyaknya, apalagi job menggoreng yang dilakukan oleh bulikku kutemani dengan
sukses, tiap matang satu penggorengan aku mengambil satu piring. Dan aku,
jelas-jelas bahagia karena keuntungan itu.
Yang aku tau pagi itu, ada beberapa orang asing yang datang ke kamar
depan. Kamar yang jarang kami pakai, di rumah setua ini. Orang-orang itu membawa
perkakas macam-macam. Dan mereka saling beramah tamah dengan nenekku.
Pagi itu, matahari mulai meninggi. Aku bermain-main terus dengan
sepupu-sepupuku yang datang dari berbagai kota. Ini bukan lebaran, tapi
meriahnya seperti lebaran. Orang yang kupanggil oom, hadir lengkap semua.
Perempuan-perempuan yang kupanggil bulik, berdandan cantik semua hari itu. Aku
girang bukan main, karena ibu memakaikanku gaun dengan renda-renda dan bunga di
dada sebelah kiri. Baju terusan berwana krem yang berpita dipinggangnya.
Hari itu semua orang cantik, hari itu semua orang bahagia. Termasuk
aku.
Tapi yang paling menjadi magnet penglihatan diantara semua orang ini
adalah perempuan itu. Perempuan yang tidak kubenci dan sangat menyayangiku.
Perempuan yang sering menjemputku dari sekolah bersama oom ku. Perempuan yang
emm, kuhitung hampir satu tahun kukenal, yang sering membelikanku tango dan
susu kotak. Dia yang paling cantik. Dia memakai pakaian yang aneh, banyak
bunga-bunga di tanam di kepalanya yang membesar di bagian belakang, warnanya
keemasan. Dia cantik dengan bibir yang diberi merah-merah.
Dia duduk di kursi merah panjang yang di kanan kirinya terdapat
payung, oom ku juga duduk disana. Keduanya tersenyum. Kata orang-orang itu
senyum bahagia. Aku pun belum pernah melihat oom ku tersenyum se sumringah itu.
Yang aku tau senyum bahagia adalah ketika, oom ku yang acak-acakan itu
terbangun kaget saat aku sudah siap dengan seragam TK ku dan merajuk diantar
sekolah, dia tersenyum tapi marah-marah. Setauku, senyum bahagia adalah ketika
kami sering mencuri-curi pergi dari pengetahuan bapak ke pasar malam, pulangnya
oomku kelelahan mendorong motor tuanya yang buluk sementara aku digendong bapak
yang ngomel-ngomel karena malam-malam menjemput kami di pasar malam. Atau
ketika aku dinaikkan sepeda berboncengan dengan sepupuku yang lain, kemudian
kami didorong oleh oomku dari jalan yang menanjak. Kami terjatuh, kami
menangis, dan dia menolong kami sedikit cemas sambil tersenyum.
Atau senyum ketika dia memberikan gameboy kepadaku yang sudah setengah
jam menangis mencoba merebut mainan itu darinya. Setauku itu.
Atau ketika menggendongku dipundaknya naik bukit menuju rumah simbah,
bermain ayunan dan memetik jambu. Setauku itu.
Tapi kata orang-orang bukan.
Setelah hari itu. Setengah tahun terakhir aku pergi sekolah, bersama
teman-temanku. Aku baru tau, setelah hari itu oom pergi bersama perempuan yang
sering membelikanku tango. Perempuan yang tidak kubenci dan sangat
menyayangiku.
Tidak ada pasar malam lagi setelah itu.
Setahun sekali kami bertemu, Cuma saat lebaran.
0 komentar:
Posting Komentar